Friday, December 26, 2014

Catatan 10 Tahun Pasca Bencana Aceh

slogan jaringan udeep beusaree
Oleh Subhan Usman
Relawan Aliansi Masyarakat Tanggap Bencana (SIAGA) Makassar
Woe u Gampong. Demikian ungkapan dalam bahasa Aceh yang saya kenal dari seorang kawan yang selama dua tahun bergelut dalam kegiatan restorasi Aceh pasca tsunami. “Ayo kembali ke kampung,” begitu terjemahan bebas ungkapan tersebut. Tulisan ini mengapresiasi ungkapan tersebut. Dalam rangka sedasawarsa bencana alam yang menelan korban lebih dari 200.000 jiwa di tanah Serambi Mekah. Bukan lah maksud saya memberikan konsepsi tentang penanggulangan bencana (disaster responsibility); sebuah tema yang cukup mengemuka di tanah air pasca bencana besar yang menggoyang Samudera Hindia itu. 
Community dan Society
Ferdinand Tonnies (1855-1936) adalah seorang ilmuwan Jerman. Dalam catatan ensiklopedia bebas Wikipedia tentangnya, bersama Max Weber, Tonnies merupakan salah seorang intelektual di balik berdirinya German Sociology Association. Organisasi ini sendiri, berdasar sumber yang sama merupakan institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dari sini mungkin cukup berdasar jika kita kemudian menduga Tonnies sebagai sebuah nama penting dalam khasanah sosiologi, tepatnya dalam diskusi tentang evolusi masyarakat, meski mungkin tidak setenar Weber atau pun Emile Durkheim.
Apa yang menarik dari Tonnies? Gagasannya tentang Community (terjemahan dari istilah Jerman Gemeinschaaft) dan Society (Gesellschaaft). Dua istilah ini adalah ide tentang tipologi masyarakat. Yang pertama, community menunjuk bentuk masyarakat berciri ‘perkampungan’. Community ditandai oleh hubungan antar individu yang berpola kekeluargaan alias bersifat emosional (irrasional). Organisasi sosialnya bersifat tidak formal, sejalan dengan sifat kekeluargaan tadi. Hubungan antar-individu pun, tidak bersifat kontraktual atau non ‘kalkulatif’; bukan kalkulasi untung-rugi. Jika dihubungkan dengan geografi, tipe community tersebar di pedesaan, dusun, dan sebagainya (bdk, misalnya, Lidya Nat, 2011).
headline serambi aceh 26 desember 2014
Istilah yang lain, yaitu Society, kurang lebih kebalikan dari Community. Jika Community berciri emosional-kekeluargaan dan non kalkulatif, maka masyarakat bertipe Society persis bersifat rasional, dan sebab itu bersifat kontraktual dan kalkulatif. Masyarakat yang hubungan antar-individunya didasarkan pada kalkulasi untung-rugi. Dalam skema Tonnies, termasuk kategori Society. Secara gamblang Tonnies menerangkan hubungan sosial pada Society bertopang pada pertukaran ekonomi. Seturut itu, Society juga berjalan di atas rel hukum kontrak. Jika dihubungkan dengan geografi, tipe masyarakat ini identik dengan perkotaan.
Pemilahan Tonnies ini kian menarik, ketika ia mengkonsepsi Community sebagai kemasan bagi masyarakat berbentuk irrasional. Ia menghadirkan konsep “Community of mind”, yakni salah satu tipe community (Gemeinschaaft) yang terbentuk dari “kesamaan ideologi atau pikiran”. Bagi Tonnies sebuah masyarakat irrasional terbentuk dari individu-individu rasional, yakni hubungan berpola irrasional di antara individu-individu rasional. irassionalitas berkat rasionalitas!
Mungkin kah sebuah komunitas irrasional terbentuk dari individu-individu rasional? Jawabnya, mungkin saja. Sama sekali bukan sebuah hal musykil bahwa sebuah komunitas irrasional justru terbetuk dari individu-individu beralam-pikir rasional. Banyak contoh sebagai bukti. Sebutlah partai-partai politik dengan ideologinya, sindikat-sindikat anarkis, atau paguyuban mahasiswa yang dengan teguh memperjuangkan idealisme tanpa diganggu orientasi praktis tertentu.
Posisi mencengangkan dari pemilahan Tonnies, bahwa ia telah menghadirkan sebuah eksposisi terhadap hal-hal biasa, yang karenanya sukar disadari perbedaannya. Tanpa Tonnies, hingga hari ini kita mungkin tidak akan menyadari keberadaan “Community of mind” sebagai sesuatu yang distingtif. Kita mungkin hanya bisa membenak bahwa “ada masyarakat yang bentuknya begini”— tapi tidak tahu persisnya.
Sebagai pembelajaran dari konsepsi Tonnies, saya merefleksi ungkapan Woe u Gampong dalam diskursus community dan society.
blang padang, peringatan 10 thn tsunami aceh
Kembali Menjadi Community !
Boleh jadi ungkapan woe u gampong kawan saya itu adalah sebuah ‘alat politik’ ketika itu. Sebuah ungkapan pemersatu bagi para korban pasca bencana. Pendek kata sebuah “slogan” terhadap sebuah fakta geografis. Kampung dalam pemakaian ungkapan itu adalah sebuah pemukiman di tengah alam yang masih asri, yang hadir mengisi ruang tanpa suatu tata-rencana penggunaan ruang sebelumnya, alias pemukiman yang terbentuk dengan cara ‘tumbuh’ dalam contingency. Terhadap pengertian ini, kata gampong diapresiasi sebagai kampung dalam kerangka Tonnies.
Dengan pemilahan Tonnies, maka “kembali ke kampung”, berarti juga “kembali menjadi community”. Makna di sini “kampung” tidak terbatas sebagai sebuah fakta geografis, melainkan mewakili corak sosial “community”; yang emosional, a-kalkulatif dan sebagainya. 
Apa dampak pengembangan makna woe gampong menjadi back to be community? Bahwa dengannya mensyaratkan adanya “solidaritas sosial” — atau “solidaritas mekanik” ala Durkheim. Bila dikaitkan dengan konteks penanggulangan bencana pasca gempa dan tsunami Aceh, apalkah ikatan sosial (social cohesion) itu memang tumbuh? Sebuah normatif populer bisa kita sebutkan di sini sebagai jawabannya. Yakni, sebuah masyarakat dengan solidaritas yang kuat dengan sendirinya akan memiliki semacam “daya lenting” yang kuat terhadap apa-apa yang mengenainya, entah itu bencana alam atau musibah lainnya. Sebuah masyarakat dengan solidaritas yang kuat, secara ‘mekanis’ adalah sebuah kelompok vigilante, kelompok siaga dengan kesiapsiagaannya. Yang para anggotanya otomatis saling menolong dengan empati bila terkena musibah, tanpa perlu menunggu koordinasi dari misalnya jawatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau pun Satkorlak.
Artinya, seruan wou e gampong bisa dikontekstualisasi ke dalam masyarakat perkotaan (society) yang rasional itu. Tentu saja seruan itu dalam rangkaian membangun solidaritas para warga kota. “Ayo kembali ke kampung” berarti ajakan juga mobilisasi dukungan para survivor (orang-orang selamat) untuk membangun kembali kampungnya dengan energi positif, solidaritas, partisipasi dan a-kalkulatif.
 
Enggano, 25 Desember 2014

Wednesday, December 10, 2014

HAM 365

Logo 2014

M. Nawir
UPC – JERAMI Indonesia
Tercatat 26 hari besar dan kejadian penting selama bulan Desember. Beberapa di antaranya adalah Hari AIDS, Hari Anti Korupsi, Hari Hak Asassi Manusia, Hari Kesetiakawanan Sosial, dan Hari Ibu. Hari HAM ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1950, dua tahun setelah PBB mendeklarasikan Piagam Universal Hak Asasai Manusia, atau tiga tahun pasca Perang Dunia Kedua.
Hari HAM juga dimaknai sebagai Hari Humanisme, yang pertama kali dideklarasikan oleh International Humanist and Ehical Union. Makna hari HAM adalah mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk penentangan pada rezim-rezim fasis yang mengobarkan peperangan dan penindasan hak-hak masyarakat sipil.
Di Indonesia, makna penting hari HAM adalah peristiwa kematian Munir Said Talib pada 7 September 2004. Pembunuhan terhadap aktivis HAM, kelahiran Malang, 8 Desember 1965 ini dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM Berat. Para aktivis HAM kemudian mengajukan tanggal 7 September sebagai Hari Pejuang HAM.
PBB menilai bahwa penegakan HAM setahun terakhir masih “maju-mundur”. Di satu sisi pemenuhan hak sipil dan politik mengalami kemajuan dengan semakin tumbuhnya partisipasi politik, keterbukaan informasi, yang disertai dengan berkembangnya demokratisasi. Visi dan misi negara demokratis mengemuka. Akan tetapi, pemenuhan hak-hak dasar lainya dipandang belum mencapai kemajuan yang signifikan. Kekerasan, diskriminasi, dan kemiskinan masih merupakan masalah laten di banyak negara.
Itulah sebabnya, tahun ini PBB menerbitkan slogan  Human Rights 365, yang mencakup gagasan tentang penegakan HAM sehari-hari. Petikan 365 menyatakan setiap negara menjadikan hak asasi manusia sebagai prinsip dan nilai yang mengikat, menjadi milik dan urusan masyarakat global dengan cara menghormati dan melembagakannya dalam kehidupan sehari-hari (every day is a human right day).
HAM 365 memandu kesadaran setiap orang, di manapun, dan kapan pun untuk berperilaku peduli pada kesetaraan, anti-kekerasan dan non-diskriminasi. Pelembagaan HAM 365 dapat dimulai dari partisipasi kaum muda, yang saat ini populasinya mencapai sekira 40%. Penghormatan HAM 365, pun memandatkan kepada setiap negara untuk menuntaskan pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga, terutama hak atas pekerjaan dan upah yang optimal, air bersih, perumahan yang layak, pangan yang sehat, pendidikan dan kesehatan yang terjangkau.
Tentu saja, pemerintahan Jokowi-JK sudah harus menuntaskan penyelesaian kasus-kasus HAM Berat, sepeti kematian Munir, dan tragedi kemanusiaan lainnya.

Sunday, December 7, 2014

Melepas Kepergian Sahabat

alm. DR. Latied, M,Hum (kiri) dalam dikpol KPRM
Doa ini kusemaikan di ubunmu menyertai nafas terakhirmu. Berangkatlah menemui kekasihmu yang telah lama kau rindui 
Begitu lah kesadaran tentang kematian yang ditulis.almarhum DR. Abdul Latief, M.Hum (51 th), seorang guru, penulis buku Sejarah Politik Ajattapareng, dan pegiat humaniora, yang konsisten, Ia menulis pesan di atas pada status BBMnya bertanggal 25 Nopember, dan wafat 2 Desember 2014. 
Mengapa para sufi atau pun filosof menegasi kehidupan manusia sebagai situasi yang fana? Para aktivis pro demokrasi pun menuntut kebebasan sebagai hak hidup setiap orang. Seakan manusia hidup dalam cengkeraman kejahatan dan dibelenggu pembatasan.  Bukan kah hidup ini indah, dan karena itu dinikmati saja sepuasnya selagi hidup.
Kematian urusan belakangan. Toh, orang mati tidak memiliki beban apa-apa lagi. Hilang ruang, waktu, dan materi. Tanpa rasa, karsa, dan cita-cita. Orang mati urusannya orang hidup, keluarga, sahabat, segenap handai taulan. Segala kenangan manis dan utang-piutang milik orang-orang yang ditinggalkannya.
Maka kematian bukan sekadar tragedi yang ditangisi orang-orang hidup. Hikmah kematian menyadarkan pada suatu dalil, yakni perintah kebudayaan (cultural-imperative). Seperti halnya, rezki dan jodoh. Setiap manusia pasti mati, pada akhirnya. Manusia hanya berusaha untuk menggapai hasrat dan cita-cita hidupnya dengan cara mengendalikan diri, menjaga kesehatan, memenuhi kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan. Itu sebabnya, orang takut pada proses menuju mati.
Mengapa kita rasanya takut pada bayang-bayang kematian. Barangkali kita sedang mengkhawatirkan sesuatu yang kita miliki terlepas. Harta, kuasa dan kesenangan, cerminan segala kefanaan itu akan menjadi milik orang lain.
Chairil Anwar menulis bukan kematian benar menusuk kalbu, keridhoanmu menerima segala tiba. Begitu lah Chairil Anwar memaknai kematian orang yang dicintainya. Kematian adalah proses melepaskan diri dari segala belenggu kefanaan. Keikhlasan dan kebebasan yang sejati itu lah kematian. Itulah sebabnya para sufi mengajarkan kita untuk bebas dari kemewahan duniawi. Para guru melatih kita untuk terbiasa berbagi, bersedekah. Dengan kata lain melepaskan sebagian milik kita, sebelum akhirnya melepas segala apa yang kita miliki. Nyawa dan Harta. (dimuat harian Tribun Timur, 3 Desember 2013)

Friday, December 5, 2014

Paralegal Penggerak Komunitas

Teater Rakyat - KPRM
Bahan Diskusi Tim Pelatih LBH Makassar
Oleh M. Nawir 
Bahasa Indonesia kesulitan mendefinisikan kata paralegal. Sejauh yang dikembangkan, paralegal merujuk pada subjek dan kegiatan yang menyertai profesi kepengacaraan. Seorang paralegal diposisikan sebagai “pembantu” pengacara, laiknya hubungan paramedis dengan dokternya. Pengertian ini merujuk pada praktik paralegal yang dikembangkan organisasi bantuan hukum di beberapa negara maju.
Di Indonesia, praktik keparalegalan tidak selalu mengikut pada kegiatan bantuan hukum. Misalnya, WALHI mengembangkan paralegal dalam advokasi lingkungan hidup. Demikian halnya, Koalisi Perempuan Indonesia dengan paralegal KDRTnya. Paralegal di sini menyangkut kualitas, sehingga paralegal yang dimaksud adalah kemampuan seseorang (sikap, pengetahuan, keahlian) dalam kegiatan advokasi non-litigasi. Dalam pengertian ini paralegal diposisikan sebagai kader pengorganisasian komunitas, yang bekerja di arena advokasi. Berbeda dengn kegiatan community-development yang berorientasi pada peningkatan pendapatan maupun peningkatan keahlian semata-mata.
Paralegal sebagai Kader Komunitas
Pendidikan paralegal diperlukan untuk memastikan tujuan advokasi adalah memecahkan persoalan, dan akhirnya memberdayakan rakyat. Metode pembelajaran yang relevan adalah pendidikan rakyat (popular-education). Metode ini lebih mengutamakan proses saling belajar untuk mencapai tujuan bersama. Saling belajar berarti, menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi dan pengetahuan yang kontekstual; menghargai prinsip kesetaraan, dan; bersepakat untuk bertindak bersama memecahkan persoalan. Oleh karenanya, hasil-hasil dari suatu rangkaian pendidikan itu bervariasi.
dg bangkala karuwisi (47)
Jatidiri seorang paralegal adalah pembelaan dan pelayanan, yang dilakukan secara partikelir maupun dibawah organisasi berbadan hukum. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah beberapa profil penggerak komunitas yang memiliki kualitas seorang paralegal.
Pettadewi Dg. Bangkala. Mulai berjuang mempertahankan tempat tinggalnya di Karuwisi pada tahun 1997. Perempuan paruh baya ini dikenal ahli dalam memediasi kasus-kasus warga miskin. Pengetahuannya dibentuk oleh pengalaman langsungnya sebagai korban penggusuran 2003. Dg Bangkala menjadi inspirasi banyak masyarakat miskin yang terancam penggusuran, seperti di Bontoduri, Kassi-kassi, kampung Pisang, Buloa, Lepping. Sejak tahun 2004, Dg. Bangkala tinggal di Pallangga kabupaten Gowa, sebuah rumah yang dibeli dari uang hasil kompensasi.
dg caya pabaeng-baeng(50)
Hasnia Dg. Caya. Dikenal sebagai aktivis KPRM, seumuran dengan Dg. Bangkala. Sejak tahun 2002, Dg Caya menjadi penggerak kelompok Tabungan Harian (daily savings) untuk membeli tanah lantaran tinggal di rumah kontrakan bersama suami yang buruh bangunan dan 9 anaknya. Dalam sepuluh tahun terakhir, dia berperan aktif sebagai mediator pengaduan masyarakat miskin menyangkut akses pelayanan kesehatan, raskin, anak sekolah, akte kelahiran, KDRT, dll. Namanya populer di kalangan pejabat birokrasi dan Walikota. Memiliki rumah dan tanah sendiri, yang dibeli dari tabungan keluarga.

dg kebo maccini sombala (52)
Salmah Dg. Kebo. Janda 60-an tahun yang pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit kampungan. Dia yang dikenal apik membuat catatan harian dan pembukuan keuangan organisasi. Dari pengalaman berorganisasinya, Dg. Kebo dipilih warganya menjadi ketua RT. Dari keahliannya, Dinas Sosial memberikan bantuan 10 mesin jahit, yang kemudian dikelola bersama sahabatnya Dg. Nur. Dengan 10 mesin itu, ibu-ibu rumah tangga sekitarnya bekerja sambilan menjahit pakaian.
dg sampara kamp pisang (48)
Dg. Sampara. Tukang kayu yang digelari arsitek kampung oleh jaringan Arsitek Komunitas (ARKOM). Bersama Dg Tuppu, kepala tukang dari Bontoduri menginspirasi 50-an warga Bungkutoko Kendari untuk merekonstruksi perumahan pasca sengketa. Dg. Sampara menjadi penggerak utama dalam pilot program land-sharing dan penataan pemukiman warga Kampung Pisang di Maccini Sombala.
Keempat ilustrasi di atas memperlihatkan proses pembelajaran yang bertolak dari konteks persoalan, potensi, dan pengetahuan dasar komunitas. Ruang pendidikan yang sesungguhnya adalah di luar kelas, yakni tindakan bersama untuk memecahkan persoalan secara terorganisasi. Tindakan-tindakan dimulai dari persoalan dan pengalaman sehari-hari orang kampung. Peran utama aktivis pendidikan rakyat atau pun “paralegal” adalah mengembangkan proses penyadaran tentang potensi, hambatan, dan peluang yang dihadapi suatu komunitas dalam pemecahan masalah.
Membentuk Watak Kader Paralegal
Suatu proses pendidikan yang memampukan suatu komunitas agar kritis dan bertindak selayaknya diukur dari hal-hal berikut ini:
1.      Sikap Dasar
Aspek ini berkenaan dengan derajat keyakinan (afeksi) kita kepada orang lain (komunitas). Keyakinan bahwa setiap orang memiliki pengetahuan yang unik, lebih suka diajak bercerita daripada diceramahi, dan percaya bahwa kita bukanlah dewa penolong. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Monyet dan Ikan Mas di musim Hujan. Hikmahnya, seorang paralegal percaya bahwa rakyat mengalami penindasan, dehumanisasi, bukan berarti dia lah yang akan membebaskan rakyat dari situasi penindasan itu. Latihan Praktisnya adalah membaca, menyimak, dan menyikapi informasi yang bertolak belakang dengan kebiasaan sehari-hari kita. Materi diskusinya adalah mengukur tingkat kepercayaan (percaya, ragu-ragu, tidak percaya) berdasarkan skala 0 – 10. Misalnya, informasi tentang  mengkonsumsi Teh menyebabkan kanker.
2.      Pengetahuan
Pengetahuan atau pun informasi ibarat peluru. informasi memerlukan pembaruan secara kontinyu. Aspek ini berkenaan dengan pemahaman (kognisi) kita terhadap realitas yang dihadapi. Prinsipnya, pemahaman yang cukup tentang persoalan dan potensi yang dihadapi komunitas semakin memudahkan kita mengembangkan posisi dan disposisi bersama komunitas. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Burung dan Katak dalam Sumur. Hikmahnya, pengetahuan yang sederhana sekalipun jika berterima akan menjadi kekuatan perubahan. Mentautkan pengetahuan lokal dengan informasi global akan mencerahkan komunitas. Latihan Praktis, misalnya Analisis Produk Kemasan untuk membngun pengetahuan tentang aspek hukum (label), kandungan, proses produksi, jaringan pasar, dan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
3.      Keahlian
Aspek ini berkenaan dengan kemampuan kita meggunakan berbagai teknik penggalian informasi. Teknik analisis sosial (Ansos), rekonstruksi sejarah komunitas, dan tekni problem-solving, penting dipraktikkan bersama komunitas secara berulang-ulang. Diibaratkan ilmu silat, teknik-teknik itu adalah jurus-jurus yang memerlukan latihan. Ilustrasi yang relevan dengan aspek ini adalah cerita Elang vs Siput atau pun Kura-kura vs Kancil. Hikmahnya, seorang paralegal memerlukan teknik komunikasi (bahasa) yang mudah dimengerti komunitasnya. Belajar menggunakan bahasa lokal sangatlah penting untuk menumbuhkan trust. Sama pentingnya dengan menemukan padanan istilah hukum pidana dan hukum perdata yang mudah dimengerti oleh komunitas. Latihan Praktisnya, melakukan Role Play (bermain-peran) teknik penggalian informasi.
4.      Evaluasi dan Refleksi
Aspek ini merupakan kegiatan yang mencakup keseluruhan proses pendidikan. Evaluasi berbeda dengan proses reflektif. Evaluasi adalah penilaian aspek dan tahapan proses kegiatan dengan menggunakan tolak ukur tertentu untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian hasil maupun hambatan. Sedangkan refleksi merupakan proses memaknai atau meninjau kembali daur pembelajaran dan prinsip-prinsipnya untuk memperoieh kesadaran atau pengetahuan baru. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan secara periodik atau pun menurut tahapan proses pendidikan. Salah satu teknik yang sering digunakan dalam pendidikan komunitas adalah refleksi atas pengetahuan dan proses di dalam kelas (review), dan luar kelas (refleksi).
Tantangan yang dihadapi aktivis paralegal adalah menanamkan pemahaman tentang aspek-aspek hukum (legal) kepada komunitasnya dengan bahasa yang operasional, mudah dicerna, dan diungkapkan kembali oleh komunitas. Metode pendidikan dan pengorganisasian komunitas dapat menjembatani kendala yang muncul dalam proses pembelajaran. Cara memulainya adalah dengan menjaga sikap dasar, yakni mengendalikan diri dari hasrat untuk mendominasi dalam interaksi dengan komunitas. Langkah awal ini akan menentukan proses pembelajaran berikutnya.