slogan jaringan udeep beusaree |
Oleh
Subhan Usman
Relawan
Aliansi Masyarakat Tanggap Bencana (SIAGA) Makassar
Woe u Gampong.
Demikian ungkapan dalam bahasa Aceh yang saya kenal dari seorang kawan yang
selama dua tahun bergelut dalam kegiatan restorasi Aceh pasca tsunami. “Ayo
kembali ke kampung,” begitu terjemahan bebas ungkapan tersebut. Tulisan ini mengapresiasi ungkapan tersebut.
Dalam rangka sedasawarsa bencana alam yang menelan korban lebih dari 200.000
jiwa di tanah Serambi Mekah. Bukan lah maksud saya memberikan konsepsi tentang
penanggulangan bencana (disaster responsibility); sebuah tema yang cukup mengemuka
di tanah air pasca bencana besar yang menggoyang Samudera Hindia itu.
Community dan Society
Ferdinand Tonnies (1855-1936) adalah seorang ilmuwan Jerman.
Dalam catatan ensiklopedia bebas Wikipedia tentangnya, bersama Max Weber,
Tonnies merupakan salah seorang intelektual di balik berdirinya German Sociology Association. Organisasi
ini sendiri, berdasar sumber yang sama merupakan institusi terbesar yang sangat
berperan dalam sosiologi Jerman. Dari sini mungkin cukup berdasar jika kita
kemudian menduga Tonnies sebagai sebuah nama penting dalam khasanah sosiologi,
tepatnya dalam diskusi tentang evolusi masyarakat, meski mungkin tidak setenar Weber
atau pun Emile Durkheim.
Apa yang menarik dari Tonnies? Gagasannya tentang Community (terjemahan dari istilah Jerman
Gemeinschaaft) dan Society (Gesellschaaft). Dua istilah ini adalah ide tentang tipologi
masyarakat. Yang pertama, community menunjuk bentuk masyarakat berciri
‘perkampungan’. Community ditandai oleh hubungan antar individu yang berpola
kekeluargaan alias bersifat emosional (irrasional). Organisasi sosialnya
bersifat tidak formal, sejalan dengan sifat kekeluargaan tadi. Hubungan
antar-individu pun, tidak bersifat kontraktual atau non ‘kalkulatif’; bukan
kalkulasi untung-rugi. Jika dihubungkan dengan geografi, tipe community
tersebar di pedesaan, dusun, dan sebagainya (bdk, misalnya, Lidya Nat, 2011).
headline serambi aceh 26 desember 2014 |
Istilah yang lain,
yaitu Society, kurang lebih kebalikan dari Community. Jika Community
berciri emosional-kekeluargaan dan non kalkulatif, maka masyarakat bertipe
Society persis bersifat rasional, dan sebab itu bersifat
kontraktual dan kalkulatif. Masyarakat yang hubungan antar-individunya didasarkan
pada kalkulasi untung-rugi. Dalam skema Tonnies, termasuk kategori Society. Secara gamblang Tonnies
menerangkan hubungan sosial pada Society bertopang pada pertukaran ekonomi.
Seturut itu, Society juga berjalan di atas rel hukum kontrak. Jika dihubungkan
dengan geografi, tipe masyarakat ini identik dengan perkotaan.
Pemilahan Tonnies ini
kian menarik, ketika ia mengkonsepsi Community sebagai kemasan bagi masyarakat
berbentuk irrasional. Ia menghadirkan konsep “Community of mind”, yakni salah
satu tipe community (Gemeinschaaft) yang terbentuk dari “kesamaan ideologi atau
pikiran”. Bagi Tonnies sebuah masyarakat irrasional terbentuk dari
individu-individu rasional, yakni hubungan berpola irrasional di antara
individu-individu rasional. irassionalitas berkat rasionalitas!
Mungkin kah sebuah
komunitas irrasional terbentuk dari individu-individu rasional? Jawabnya, mungkin
saja. Sama sekali bukan sebuah hal musykil bahwa sebuah komunitas irrasional
justru terbetuk dari individu-individu beralam-pikir rasional. Banyak contoh
sebagai bukti. Sebutlah partai-partai politik dengan ideologinya,
sindikat-sindikat anarkis, atau paguyuban mahasiswa yang dengan teguh
memperjuangkan idealisme tanpa diganggu orientasi praktis tertentu.
Posisi mencengangkan
dari pemilahan Tonnies, bahwa ia telah menghadirkan sebuah eksposisi terhadap
hal-hal biasa, yang karenanya sukar disadari perbedaannya. Tanpa Tonnies,
hingga hari ini kita mungkin tidak akan menyadari keberadaan “Community of
mind” sebagai sesuatu yang distingtif. Kita mungkin hanya bisa membenak bahwa
“ada masyarakat yang bentuknya begini”— tapi tidak tahu persisnya.
Sebagai pembelajaran
dari konsepsi Tonnies, saya merefleksi ungkapan Woe u Gampong dalam diskursus
community dan society.
blang padang, peringatan 10 thn tsunami aceh |
Kembali Menjadi Community !
Boleh jadi ungkapan woe u gampong kawan saya itu adalah sebuah ‘alat politik’ ketika itu. Sebuah ungkapan pemersatu bagi para korban pasca bencana. Pendek kata sebuah “slogan” terhadap sebuah fakta geografis. Kampung dalam pemakaian ungkapan itu adalah sebuah pemukiman di tengah alam yang masih asri, yang hadir mengisi ruang tanpa suatu tata-rencana penggunaan ruang sebelumnya, alias pemukiman yang terbentuk dengan cara ‘tumbuh’ dalam contingency. Terhadap pengertian ini, kata gampong diapresiasi sebagai kampung dalam kerangka Tonnies.
Boleh jadi ungkapan woe u gampong kawan saya itu adalah sebuah ‘alat politik’ ketika itu. Sebuah ungkapan pemersatu bagi para korban pasca bencana. Pendek kata sebuah “slogan” terhadap sebuah fakta geografis. Kampung dalam pemakaian ungkapan itu adalah sebuah pemukiman di tengah alam yang masih asri, yang hadir mengisi ruang tanpa suatu tata-rencana penggunaan ruang sebelumnya, alias pemukiman yang terbentuk dengan cara ‘tumbuh’ dalam contingency. Terhadap pengertian ini, kata gampong diapresiasi sebagai kampung dalam kerangka Tonnies.
Dengan pemilahan
Tonnies, maka “kembali ke kampung”, berarti juga “kembali menjadi community”.
Makna di sini “kampung” tidak terbatas sebagai sebuah fakta geografis,
melainkan mewakili corak sosial “community”; yang emosional, a-kalkulatif
dan sebagainya.
Apa dampak
pengembangan makna woe gampong
menjadi back to be community? Bahwa
dengannya mensyaratkan adanya “solidaritas sosial” — atau “solidaritas mekanik”
ala Durkheim. Bila dikaitkan dengan konteks penanggulangan bencana pasca gempa
dan tsunami Aceh, apalkah ikatan sosial (social
cohesion) itu memang tumbuh? Sebuah normatif populer bisa kita sebutkan di
sini sebagai jawabannya. Yakni, sebuah masyarakat dengan solidaritas yang kuat
dengan sendirinya akan memiliki semacam “daya lenting” yang kuat terhadap
apa-apa yang mengenainya, entah itu bencana alam atau musibah lainnya. Sebuah
masyarakat dengan solidaritas yang kuat, secara ‘mekanis’ adalah sebuah
kelompok vigilante, kelompok siaga
dengan kesiapsiagaannya. Yang para anggotanya otomatis saling menolong dengan
empati bila terkena musibah, tanpa perlu menunggu koordinasi dari misalnya
jawatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau pun Satkorlak.
Artinya, seruan wou e gampong bisa dikontekstualisasi ke
dalam masyarakat perkotaan (society) yang rasional itu. Tentu saja seruan itu
dalam rangkaian membangun solidaritas para warga kota. “Ayo kembali ke kampung”
berarti ajakan juga mobilisasi dukungan para survivor (orang-orang selamat) untuk membangun kembali kampungnya
dengan energi positif, solidaritas, partisipasi dan a-kalkulatif.
Enggano, 25 Desember 2014
No comments:
Post a Comment