Monday, May 5, 2014

Catatan Hari Buruh 2014

Bennq alias pop-corn pasar tradisional
M. Nawir
Tentang Kerja di Sektor Informal
Pada mulanya, kerja atau bekerja diyakini sebagai suatu pemujaan dan ritualisasi. Dalam perkembanganya, kerja dipandang sebagai mekanisme kontrol dan represi. Hal ini terjadi ketika terjadi akumulasi kapital di tangan segelintir maupun sekelompok pemodal. Di pedesaan dikenal dengan juragan atau punggawa, sedangkan di perkotaan disebut majikan atau bos perusahaan. Istilah yang keren belakangan ini pemilik modal dinamakan kapitalis-borjuis.
Sedikit berbeda dengan kerja di sektor formal. Di sektor ini, pekerja relatif tidak dikontrol oleh sebuah sistim kerja maupun kepentingan represif dari pemilik modal. Mereka memiliki kebebasan dalam menentukan jenis usaha, mengelola dan memasarkan barang dan jasa, tanpa harus mengikuti keinginan pemilik modal. Namun, dalam perkembangannya, kerja di sektor informal sangat dipengaruhi oleh trend ekonomi perkotaan, yang kemudian memposisikan mereka sebagai pengecer produk pasar bebas. Meskipun demikian, mereka dapat bertahan di tengah goncangan krisis ekonomi nasional dan global dengan kemampuan dan siasatnya.
Sektor informal terutama tumbuh pesat di perkotaan. Moda produksi ekonominya sangat dipengaruhi cara hidup informal kaum miskin kota itu sendiri, yakni informalitas dan keberagaman. Berdasarkan pengalaman penulis, ciri-ciri yang melekat pada ekonomi informal sebagai berikut:
Pertama, mampu mengadaptasi kepentingannya dengan kecenderungan atau tuntutan sosial-ekonomi sekitar. Mereka dengan mudah mereplikasi suatu cara (modus) maupun jenis usaha, bahkan mengubah bentuk usahanya agar tetap survive.
Kedua, mampu  menyiasati locus usaha sebagai taktik (motivasi) membuka pasar (konsumen). Rumus sederhananya “dimana banyak jejak kaki, di situ banyak rejeki”.
Ketiga, kebebasan memilih jenis dan bentuk usaha. Dengan segala keterbatasannya, rakyat miskin lebih bebas memilih sektor informal sebagai basis usaha.
Keempat, pendapatan harian yang tidak menentu merupakan kondisi yang umumnya tidak disadari sebagai potensi untuk mengatur belanja sambil menabung harian. Kebiasaan “berapa dapat hari ini bersimetri dengan berapa belanja hari ini”.
pedagang pasar tradisional
Kelima, informalitas sebagai ciri dominan yang tampak pada cara hidup orang miskin perkotaan memungkinkan relasi personal yang intens, saling memudahkan dalam transaksi, serta saling menguji kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing.
Keenam, jenis usaha sebagai sarana produksi, yang pada umumnya adalah barang konsumsi sembako, memungkinkan usaha tersebut berfungsi sebagai pemenuhkebutuhan subsisten atau stok pangan. Barang sembako yang tidak habis terjual, dikonsumsi oleh penjual dan keluarganya.
Ketujuh, sektor informal secara nyata membuka lapangan kerja. Hal ini dimungkinkan oleh sifat berusaha orang miskin yang saling mengisi peluang. Sebuah lokasi usaha yang berhasil biasanya menjadi tempat sekumpulan pedagang lainnya.
Kedelapan, ada kepercayaan personal di kalangan pedagang kecil bahwa setiap orang memiliki rejeki yang berbeda-beda. Oleh karenanya, persaingan individual di antara mereka dalam satu locus usaha diterima secara sehat.
Kesembilan, mengorganisasikan orang miskin perkotaan bukanlah perkara mudah, dan karena itu penguatan kohesi sosial menjadi sangat relevan. Isu-isu perlindungan atas lapangan kerja, akses di tingkat distributor dan jaringan pasar menjadi tugas pokok organisasi yang menaungi mereka.
pedagang pinggiran jalan
Sektor Informal di Indonesia
Sejak pemerintahan Orde Baru, pembangunan daerah dan kota di Indonesia digerakkan oleh konglomerasi investor swasta nasional dan asing. Pembangunan pusat-pusat perdagangan dan jasa, diringi dengan proyek perluasan infrastruktur. Kota sebagai ‘locus’ ekonomi menjadi arena kepentingan bersama para kapitalis dan pejabat. Dua sisi mata uang “pusat perdagangan-infrastruktur” itu terus berlanjut di era reformasi. Bahkan lebih gencar lagi, mall, hipermarket, kawasan real-estate, hotel dan tempat hiburan menjadi indikator pertumbuhan ekonomi kota metropolitan. Pemerintah pun menjadikannya prioritaskan dalam kebijakan tata ruang wilayah dan peningkatan PAD.
Kebijakan penataan ruang ekonomi dewasa ini mendapat reaksi yang keras dari kalangan pengusaha kecil dan pekerja sektor informal. Mereka beranggapan bahwa pemerintah lebih melindungi keberadaan para kapitalis (investor) daripada pengusaha kecil dan sektor informal. Hal ini dapat dibuktikan dari besarnya kredit perbankan yang diserap oleh para investor. Pada saat bersamaan, formalisasi pasar tradisional, serta penertiban dan penggusuran PKL, Pengamen, Asongan, Tukang Becak dilakukan oleh pemerintah dengan alasan tidak sesuai dengan perkembangan jaman modern. Bahkan, pekerja sektor informal dan pasar-pasar tradisional dianggap sumber kejorokan, penyebab kemacetan, dan kerawanan sosial.
pekerja bangunan upah harian
Pemerintah selama ini menutup mata bahwa sektor informal dan pasar-pasar tradisional penopang ekonomi nasional dari krisis perbankan dunia. Justru usaha di sektor formal seperti pabrik, mall, hotel, dan lain-lain itulah yang lebih duluan ambruk akibat ketergantungan pada pinjaman perbankan. Akibat lebih jauh adalah dengan mudahnya pengusaha menetapkan upah minimum dan melakukan PHK. Bahkan, pengusaha dewasa ini lebih cerdik lagi memanfaatkan sistim outsourcing yang diatur undang-udang. Artinya, sektor ekonomi formal juga berpotensi menciptakan pengangguran. Pada tahun 2005 angka pengangguran meningkat dari 5,18 juta orang tahun 1997 menjadi 10,9 juta orang. Jika setengah penganggur (mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu) dimasukkan, angka pengangguran saat ini mencapai 40,1 juta orang atau sekitar 37 persen dari total angkatan kerja (106,9 juta orang).
Situasi yang berbeda dengan usaha di sektor informal yang menyerap sebagian pesar pencari kerja di Indonesia. Sepanjang waktu bertambah secara fluktuatif mengikuti tren pertumbuhan kota. Peningkatannya pun dipicu oleh tuntutan ekonomi keluarga miskin. Usaha-usaha rumahan menjamur terutama kawasan pertumbuhan baru dan di lorong-lorong pemukiman padat. Di sektor  ini pula tumbuh berbagai inisiatif jenis usaha dan produksi dengan modal kecil secara mandiri. Menurut data Badan Pusat statistik (BPS), sektor informal menyerap 70 persen angkatan kerja yang bekerja dewasa ini, sementara sektor formal hanya 30 persen. Sektor informal yang diwakili usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menyumbang 55,8 persen produk domestik bruto (PDB) tahun 2005 atau 19 persen dari total ekspor. Data ini belum termasuk kontribusi PKL, tukang becak, pemulung, dan berbagai usaha konsumsi rumahan yang umumnya digerakkan oleh kaum perempuan.
Dengan kenyataan ini, maka tidak ada alasan bagi pemerintah dan pengusaha untuk mengurangi apalagi menghabisi pekerja sektor informal. Seharusnya. pemerintah melindungi dan mengelola sektor informal sebagai aset perekonomian kota dan nasional. (25/01/12)
Sumber: Informasi dan data diolah dari berbagai sumber media cetak dan elektronik
Foto: Koleksi Pribadi (M. Nawir)

Saturday, May 3, 2014

Catatan Ril Pileg 2014

NO MONEY, NO POLITIC
repro from facebook
Ungkapan lama 'ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang'. Begitulah nasib kebanyakan caleg yang gagal meraih mimpinya menjadi anggota dewan pada Pileg 2014. Ungkapan 'no money, no politic' cukup mewakili perasaan para caleg gagal itu. Betapa kencangnya uang memgalir dari kantong-kantong caleg untuk merebut kursi parlemen. Sudah menjadi gunjingan umum sejumlah caleg yang gagal maupun berhasil telah menghabiskan uang 500 juta hingga 5 milyar rupiah. Dana sebesar ini dikeluarkan caleg setahun sampai hari pencoblosan, bahkan selama perhitungan suara .
Pengaduan perihal dugaan penggelembungan suara selama rekapitulasi di tingkat kelurahan dan kecamatan tidak terlepas dari hebatnya permainan uang. Diduga kuat oknum penyelenggara pemilu, terutama di tingkat PPS terlibat bersama caleg atau partai tertentu. Di beberapa kota pun dilakukan perhitungan ulang, bahkan pemilihan ulang. Para pengamat politik menilai pemilu legislatif 2014 yang diikuti 12 Parpol Nasional lebih buruk dalam riwayat Pemilihan Umum di Indonesia, dibandaing Pilgeg 2009 yang diikuti 44 Parpol.
Bagaimana dengan caleg yang tidak ikut-ikutan money-politic? Berdasarkan pengalaman penulis, rata-rata pengeluaran mereka 5-50 juta rupiah. Nominalnya sangat kecil, sekitar 0,10 sampai 1% dari pengeluaran caleg beruang. Dengan dana sekecil itu, ada juga caleg 'kere' yang sukses. Jumlahnya pun bisa dihitung jari. Keberhasilannya dianggap suatu keberuntungan. Sebaliknya, keberhasilan caleg beruang dianggap senilai dengan pengeluarannya.
Sebenarnya peluang caleg 'idealis' dengan caleg 'beruang' adalah sama. Pada suatu kesempatan penulis berdiskusi serius dengan dua orang sahabat yang juga caleg. Yang pertama mengklaim dirinya "caleg idealis karena tidak pakai uang dan sembako", tetapi gagal. Yang kedua, caleg 'beruang' yang sukses mengelola uangnya menjadi kekuatan politik. Caleg yang kedua ini  mengakui bahwa modal pokoknya menjadi caleg partai tertentu memang uang sesuai dengan latar belakang pekerjaannya sebagai pengusaha. Dengan uang itu, dia merekrut tim sukses, membiayai atribut kampante, membiayai forum sosialisasi, dan terutama mempengaruhi penyelenggara pemilu dan tokoh-tokoh informal. Uang pula yang menjadi peluru dan senjata utama untuk mempengaruhi, merawat dan 'membeli' suara pemilih sampai hari H. Dia, bertanya apa yang salah dari uang itu? Faktanya, hasil survey jelang pencoblosan menyebut 18% pemilih di Makassar belum menentukan pilihan dengan alasan menunggu 'serangan' caleg. Ironisnya, belum pernah ada pemilih yang mengaku apalagi melapor bahwa diirinya mendapat uang dan sembako dari seorang caleg. Akhirnya, persoalan 'politik uang' menjadi debat yang tidak memberikan pelajaran penting, kecuali menerimanya sebagai fakta politik sampai hari ini.
Apakah caleg 'idealis' memang tidak 'beruang'? Tidak juga, menurut seorang sahabat yang aktivis LSM bukan caleg. Menurutnya, aktivis LSM itu adalah figur dari suatu komunitas yang didampinginya belasan tahun. Biaya pendampingan selama itu juga mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Nilainya rata-rata 1 sampai 3 jiuta rupiah sebulan, Belum ternasuk biaya program untuk masyarakat dari kerjasama dengan lembaga donor maupun bantuan pemerintah. Rata-rata LSM mengelola dana dari lembaga donor tertentu, katakanlah 100 - 500 juta rupiah setahun. Sekitar 20% dari dana itu adalah biaya operasional pendamping dan selebihnya biaya program yang langsung dimanfaatkan masyarakat dampingan. Jadi, modal sosial caleg idealis itu 'gede' juga. Hanya saja bukan uang cash seperti yang dimiliki caleg beruang. Yang terjadi selama ini, uang ratusan juta sampai milyaran rupiah yang dikelola LSM dan aktivis sosial itu digelontorkan untuk tujuan sosial kemanusiaan atau pun politik ideal, tidak bertujuan politik praktis. Begitulah argumentasinya.
Bagaimanapun argumentasinya, suatu ironi kenyataan bahwa caleg-caleg idealis itu harus menyerah pada ril politik transaksional yang dimainkan politisi beruang dan berkuasa. Dalam politik uang, rakyat pemilih adalah subjek penerima uang sekaligus objek yang dikalkulasi. Inilah keberhasilan para caleg beruang. Sebaliknya adalah kegagalan caleg idealis beserta kelompok masyarakat sipilnya dalam memaknai sumberdaya pengetahuan, uang, dan organiasi sebagai kekuatan politik dan perubahan sosial. Dengan kata lain, kesadaran dan misi politik kita masih rendah. Sebagian besar masyarakat pemilih, termasuk komunitas dampingan masih memandang kerja politik harus setara dengan jumlah uang yang kita miliki - tanpa uang, suara nihil. Tidak usah mencela mereka. Cukuplah berterima kasih kepada mereka yang berkorban waktu, tenaga dan biaya pribadi untuk memilih calegnya yang idealis itu.