NO MONEY, NO POLITIC
Pengaduan
perihal dugaan penggelembungan suara selama rekapitulasi di tingkat kelurahan
dan kecamatan tidak terlepas dari hebatnya permainan uang. Diduga kuat oknum
penyelenggara pemilu, terutama di tingkat PPS terlibat bersama caleg atau
partai tertentu. Di beberapa kota pun dilakukan perhitungan ulang, bahkan
pemilihan ulang. Para pengamat politik menilai pemilu legislatif 2014 yang
diikuti 12 Parpol Nasional lebih buruk dalam riwayat Pemilihan Umum di
Indonesia, dibandaing Pilgeg 2009 yang diikuti 44 Parpol.
Bagaimana dengan caleg yang tidak
ikut-ikutan money-politic? Berdasarkan pengalaman penulis,
rata-rata pengeluaran mereka 5-50 juta rupiah. Nominalnya sangat kecil, sekitar
0,10 sampai 1% dari pengeluaran caleg beruang. Dengan dana sekecil itu, ada
juga caleg 'kere' yang sukses. Jumlahnya pun bisa dihitung jari. Keberhasilannya
dianggap suatu keberuntungan. Sebaliknya, keberhasilan caleg beruang dianggap
senilai dengan pengeluarannya.
Sebenarnya
peluang caleg 'idealis' dengan caleg 'beruang' adalah sama. Pada suatu
kesempatan penulis berdiskusi serius dengan dua orang sahabat yang juga caleg.
Yang pertama mengklaim dirinya "caleg idealis karena tidak pakai uang dan
sembako", tetapi gagal. Yang kedua, caleg 'beruang' yang sukses mengelola
uangnya menjadi kekuatan politik. Caleg yang kedua ini mengakui bahwa
modal pokoknya menjadi caleg partai tertentu memang uang sesuai dengan latar
belakang pekerjaannya sebagai pengusaha. Dengan uang itu, dia merekrut tim
sukses, membiayai atribut kampante, membiayai forum sosialisasi, dan terutama
mempengaruhi penyelenggara pemilu dan tokoh-tokoh informal. Uang pula yang
menjadi peluru dan senjata utama untuk mempengaruhi, merawat dan 'membeli'
suara pemilih sampai hari H. Dia, bertanya apa yang salah dari uang itu?
Faktanya, hasil survey jelang pencoblosan menyebut 18% pemilih di Makassar
belum menentukan pilihan dengan alasan menunggu 'serangan' caleg. Ironisnya,
belum pernah ada pemilih yang mengaku apalagi melapor bahwa diirinya mendapat
uang dan sembako dari seorang caleg. Akhirnya, persoalan 'politik uang' menjadi
debat yang tidak memberikan pelajaran penting, kecuali menerimanya sebagai
fakta politik sampai hari ini.
Apakah caleg
'idealis' memang tidak 'beruang'? Tidak juga, menurut seorang sahabat yang
aktivis LSM bukan caleg. Menurutnya, aktivis LSM itu adalah figur dari suatu
komunitas yang didampinginya belasan tahun. Biaya pendampingan selama itu juga
mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Nilainya rata-rata 1 sampai 3 jiuta
rupiah sebulan, Belum ternasuk biaya program untuk masyarakat dari kerjasama
dengan lembaga donor maupun bantuan pemerintah. Rata-rata LSM mengelola dana
dari lembaga donor tertentu, katakanlah 100 - 500 juta rupiah setahun. Sekitar
20% dari dana itu adalah biaya operasional pendamping dan selebihnya biaya
program yang langsung dimanfaatkan masyarakat dampingan. Jadi, modal sosial
caleg idealis itu 'gede' juga. Hanya saja bukan uang cash seperti
yang dimiliki caleg beruang. Yang terjadi selama ini, uang ratusan juta sampai
milyaran rupiah yang dikelola LSM dan aktivis sosial itu digelontorkan untuk
tujuan sosial kemanusiaan atau pun politik ideal, tidak bertujuan politik
praktis. Begitulah argumentasinya.
Bagaimanapun
argumentasinya, suatu ironi kenyataan bahwa caleg-caleg idealis itu harus
menyerah pada ril politik transaksional yang dimainkan politisi beruang dan
berkuasa. Dalam politik uang, rakyat pemilih adalah subjek penerima uang
sekaligus objek yang dikalkulasi. Inilah keberhasilan para caleg beruang.
Sebaliknya adalah kegagalan caleg idealis beserta kelompok masyarakat sipilnya
dalam memaknai sumberdaya pengetahuan, uang, dan organiasi sebagai kekuatan
politik dan perubahan sosial. Dengan kata lain, kesadaran dan misi politik kita
masih rendah. Sebagian besar masyarakat pemilih, termasuk komunitas dampingan
masih memandang kerja politik harus setara dengan jumlah uang yang kita miliki
- tanpa uang, suara nihil. Tidak usah mencela mereka. Cukuplah berterima kasih
kepada mereka yang berkorban waktu, tenaga dan biaya pribadi untuk memilih
calegnya yang idealis itu.
No comments:
Post a Comment