Cerita dari Kampung Pisang
dialog kebijakan habitat day, makassar 2914 |
Sudah hampir sepuluh tahun (2004 - 2014)
49 KK warga Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala Makassar menguasai
sebagian kecil lahan, yakni sekitar 7000 are dari total 3,7
hektar. Awalnya hanya 26 unit rumah semi permanen. Lahan ini berada
dalam kawasan pengembangan GMTD (Gowa Makassar Tourism and Development). Menurut kesaksian warga, lokasi yang dimaksud dulunya rawa-rawa dan empang.
Sekira tahun 1980, ketika Pemkot membangun tanggul di hulu aliran sungai
Jeneberang, hasil pengerukan sungai tersebut dipakai menimbun lokasi Kampung
Pisang. Sejak saat itu lokasi tersebut dijadikan kebun, terutama tanaman pisang
oleh penggarap. Hingga tahun 2002, warga mulai mendiami sebagian kecil lahan,
sambil tetap berkebun dan beternak sapi. Warga sekitar menyebutnya Kampung
Pisang. Setelah menjadi pemukiman baru di wilayah RT 04 RW 05, konflik pun
mencuat pada tahun 2004 ketika kuasa ahli waris pemilik tanah membuat pagar
beton sekeliling lahan.
Tinggal dan berumah di atas lahan yang
telah dipagar beton oleh pemiliknya tidaklah nyaman. Tanpa fasilitas air
bersih, listrik, dan akses jalan yang sempit. Seringkali kedatangan orang
suruhan pemilik tanah dan orang kelurahan yang membujuk, menakut-nakuti, bahkan
mengintimidasi warga agar bersedia menerima uang kompensasi. Betkali-kali pula
Lurah maupun Camat menfasilitasi perundingan itu. Hasilnya pun nihil. Pernah
juga lima orang perwakilan warga dipanggil ke kantor Polsek Tamalate untuk
mengklarifikasi tuduhan penyerobotan tanah oleh orang suruhan pemilik tanah.
Beruntung, tuduhan itu tidak semuanya benar. Pihak kepolisian pun tidak dapat
memastikan adanya pelanggaran hukum karena bukti-bukti klaim kepemilikan tanah
masih simpang siur. Demikian halnya ketika warga berdialog dengan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar, pada waktu itu, status tanah kampung
pisang masih dalam sengketa berbagai pihak. Lahan seluas 1,7 hektar itu
dikuasai oleh keluarga penggarap Dg. Maro sebagai penjual kepada warga. Ada pun
pihak-pihak yang saling klaim di antaranya keluarga Andi Pammussureng, keluarga
Andi Mappagiling, dan belakangan klaim SHM atas nama Jhon Tandiary, seorang
pengusaya properti.
Banyak kalangan tidak percaya warga
Kampung Pisang sanggup mempertahankan tempat tinggalnya. Nasib warga bergantung
pada pihak luar, yakni KPRM. Dan itu tidak sepenuhnya benar. Pada tahun 2009,
dalam kesempatan workshop regional Women Againts Eviction yang
diselenggarakan oleh UPC, Huairou Commission dan LOCOA di Makassar, Walikota
Ilham Arief Sirajuddin menyatakan sanggup memediasi sengketa dan menegaskan
bahwa warga Kampung Pisang tidak akan digusur. Pernyataan ini diungkapkan di
hadapan 30-an peserta yang berasal dari enam negara ASIA (Indonesia, Pilipina,
Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Korea Selatan). Sebagai tindak
lanjutnya, walikota Makassar berkunjung ke lokasi dan berdialog dengan seluruh
warga Kampung Pisang. Walikota menegaskan kembali tidak ada penggusuran, asalkan warga siap
ditata. Momentum itulah yang dijadikan warga yang terorganisasi dalam Komite
Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dengan mengajukan konsep berbagi lahan (land-sharing)
dan penataan pemukiman.
Kerja keras pun dimulai. KPRM bekerjasama dengan Bappeda Kota Makassar
menghadirkan para ahli perencana kota dari Jakarta (RUJAK Center), Yogyakarta
(ARKOM), dan arsitek senior UNHAS dalam suatu workshop Bedah Kampung Terpadu.
Tindak lanjutnya adalah pemetaan partisipatif warga Kampung Pisang sebagai
pilot berbagi lahan dan berdah kampung. Jadilah sebuah desain tata pemukiman di
atas lahan 7000 meter lengkap dengan maket yang dibuat dan disepakati seluruh
warga. Sebagai konsekuensi, sebanyak 12 rumah harus dibongkar dan dipindahkan
ke lokasi baru. Tindakan ini menjadi pertanda kesiapan warga untuk bergotong
royong dan berkorban.
Kerja keras tidak selalu memuluskan harapan ideal. Antara tahun 2010-2013
proses perundiugan mengalami kemandekan, dan situasi politik lokal pun sedang
memanas. Pihak pemilik tanah menolak desain versi warga, dan menawarkan lokasi
baru, yakni lahan empang seluas sekitar 3000 meter. Lokasi ini masih dalam
kawasan sengketa yang terletak di RT 02/05. Tahun 2011 pemilihan gubernur, disusul
pemilihan walikota tahun 2012, sampai menjelang pemilihan anggota legislatif.
Namun, pada tanggal 5 Juni 2013 dalam situasi transisi kepemimpinan
politik kota Makassar itulah Kampung Pisang menjadi lokasi kunjungan Utusan
Khusus PBB (UN Special Repporteur) urusan Perumahan Ms. Raquel Rotnik. Acara
ini dihadiri pejabat Pemkot Makassar, Camat, Lurah, juga Pemkot Kendari, serta
perwakilan kampung-kampung bermasalah, Kunjungan ini membawa optimisme baru
bahwa kampung pisang dan kampung-kampung lainnya dibawah pemantauan PBB.
Masih dalam suasana kontestasi politik, terbit surat pribadi yang
ditandatangani Jhon Tandiary yang ditujukan kepada warga Kampung Pisang.
Poinnya adalah pihak Jhon Tandiary yang mengaku pemilih tanah bersertifikat
bersedia menyerahkan sebidang tanah seluas +/- 3000 meter. Penawaran menjadi
bahan diskusi panjang di antara warga dan organisasi penduikungnya. Singkat
cerita, warga Kampung Pisang bersedia menerima tawaran tsrsebut dengan syarat:
(1) dilakukan penimbunan atas biaya pihak kedua; (2) pemerintah kota
menfasilitasi penerbitan sertifikasi hak milik untuk 49 KK. Sebagai tindak
lanjutnya, KPRM bekerjasama dengan pemerintah kota melakukan pertemuan di
kantor kecamatan Tamalate, yang dihadiri Walikota Ilham Arief Sirajuddin dan kepada
Bappeda. Dalam pertemuan itu, walikota berjanji hanya akan menerbitkan Akte
Hibah kepada 49 KK.
Link informasi terkait::