Respon terhadap Tawuran Menolak Kenaikan Harga BBM
Oleh M. Nawir
KASTA - Komunitas Alumni Unhas Tamalanrea
bongkahan batu permata |
Akhir-akhir ini perbincangan tentang batu kian mengemuka.
Di lorong-lorong perkampungan, kantor, warung, kampus, pasar dan terminal, warga
kota saling memamerkan koleksi batunya.
Tidak terkecuali di jalanan. Para demonstran yang menolak kenaikan harga BBM
pun mengumpul batu untuk persiapan jika terjadi bentrokan. Pendek kata, beberapa
tahun ini sedang musim bebatuan.
Batu identik dengan benda padat yang memiliki skala
kekerasan bertingkat-tingkat. Di sebut skala Mohs, berasal dari nama penemunya, Frederich Mohs, seorang ahli
geologi berkebangsaan Jerman yang pertama kali membagi 10 tingkat kekerasan
mineral batu. Skala kekerasan batu terendah adalah jenis Talek, seperti laiknya
batu kapur atau pun gypsum, yang mudah dgores dan larut dalam cairan asam. Batu
intan (diamond) dinilai berkekerasan
tinggi dan termasuk batu kelas satu. Hanya dengan bubuk intan, batu-batu
permata lainnya dapat digosok hingga mengkilap.
Secara objektif, semakin tinggi tingkat kekerasan batu
tertentu, semakin tinggi nilainya. Batu-batu jalanan yang digunakan para
demonstaran juga memiliki skala mohs. Kekerasannya di atas talek dan gypsum lah.
Itulah sebabnya, batu-batu jalanan itu bisa memecahkan kaca mobil, juga kepala
manusia.
Menilai kualitas jenis batu tertentu sangat subjektif,
dan karena itu harganya fluktuatif. Misalnya, bacan, yang belakangan ini paling
serius dibincangkan para pecinta batu. Hanya lantaran pak SBY pernah
menghadiahkan jenis batu bacan kepada presiden Obama. Ditilik dari skala kekerasannya, Bacan
tergolong batu berkelas tiga. Jauh di bawah intan, topaz atau pun ruby. Banyak
sumber informasi menyebut mineral batu yang khas dari kepulauan Maluku itu
termasuk jenis batu Krisokola. Skala mohsnya 4 – 3. Namun, diakui skala mohs
jenis krisokola seperti bacan itu bisa meningkat rata-rata 6-5 setelah
mengalami proses fisis.
Masyarakat Sulsel juga memiliki sumber mineral bebatuan
yang kaya. Para geolog dan pecinta batu permata sedang menggali jenis batu yang
khas orang Sulsel. Sejauh yang beredar di pasaran adalah jenis batu berkelas
tiga, yang diistilahkan dengan batu lokalan sepeti Badar, Garnet, Lumut. Jenis
batu yang umum dipakai orang Sulsel adalah batu Ako’ (Safir) dan Peroso’
(Pirus). Digemari karena bertautan dengan kepercayaan orang bugis-makassar
bahwa kedua jenis itu pernah digunakan Sawerigading dalam petualangannya.
Diukur dari tingkat kekerasan (skala mohs), Ako’ dan Peroso termasuk batu
berkelas dua dan tiga. Skala mohsnya berkisar 6,5 sampai 5.
Pasar bebatuan mula di kota Makassar, lumayan bagus
prospeknya. Para pengrajinnya tersebar di kampung-kampung maupun di pasar.
Usaha ini termasuk industri kreatif, yang cukup lama. Konsumennya pun meningkat
dari tahun ke tahun seiring dengan penrtumbuhan kelas sosial. Di sudut kiri
pasar sentral, setiap hari ramai dikunjungi para pecinta dan pengrajin batu
permata. Segala jenis bebatuan mulia
maupun batu imitasi tersedia dengan harga bertingkat-tingkat, sesuai penawaran.
Hobby batu memang unik. Mereka yang menggemarinya tentu
menyukai kekerasan, dalam pengertian ilmiah. Pribadi-pribadi yang memakai
batu-batu mulia mencerminkan bagian dari kepribadiannya, juga status sosial. Di
baliknya, tersimpan cita rasa kebudayaan.
Namun, jika salah dalam penggunaannya, jenis bebatuan apa pun bisa
melukai, bahkan membunuh manusia.