Friday, December 26, 2014

Catatan 10 Tahun Pasca Bencana Aceh

slogan jaringan udeep beusaree
Oleh Subhan Usman
Relawan Aliansi Masyarakat Tanggap Bencana (SIAGA) Makassar
Woe u Gampong. Demikian ungkapan dalam bahasa Aceh yang saya kenal dari seorang kawan yang selama dua tahun bergelut dalam kegiatan restorasi Aceh pasca tsunami. “Ayo kembali ke kampung,” begitu terjemahan bebas ungkapan tersebut. Tulisan ini mengapresiasi ungkapan tersebut. Dalam rangka sedasawarsa bencana alam yang menelan korban lebih dari 200.000 jiwa di tanah Serambi Mekah. Bukan lah maksud saya memberikan konsepsi tentang penanggulangan bencana (disaster responsibility); sebuah tema yang cukup mengemuka di tanah air pasca bencana besar yang menggoyang Samudera Hindia itu. 
Community dan Society
Ferdinand Tonnies (1855-1936) adalah seorang ilmuwan Jerman. Dalam catatan ensiklopedia bebas Wikipedia tentangnya, bersama Max Weber, Tonnies merupakan salah seorang intelektual di balik berdirinya German Sociology Association. Organisasi ini sendiri, berdasar sumber yang sama merupakan institusi terbesar yang sangat berperan dalam sosiologi Jerman. Dari sini mungkin cukup berdasar jika kita kemudian menduga Tonnies sebagai sebuah nama penting dalam khasanah sosiologi, tepatnya dalam diskusi tentang evolusi masyarakat, meski mungkin tidak setenar Weber atau pun Emile Durkheim.
Apa yang menarik dari Tonnies? Gagasannya tentang Community (terjemahan dari istilah Jerman Gemeinschaaft) dan Society (Gesellschaaft). Dua istilah ini adalah ide tentang tipologi masyarakat. Yang pertama, community menunjuk bentuk masyarakat berciri ‘perkampungan’. Community ditandai oleh hubungan antar individu yang berpola kekeluargaan alias bersifat emosional (irrasional). Organisasi sosialnya bersifat tidak formal, sejalan dengan sifat kekeluargaan tadi. Hubungan antar-individu pun, tidak bersifat kontraktual atau non ‘kalkulatif’; bukan kalkulasi untung-rugi. Jika dihubungkan dengan geografi, tipe community tersebar di pedesaan, dusun, dan sebagainya (bdk, misalnya, Lidya Nat, 2011).
headline serambi aceh 26 desember 2014
Istilah yang lain, yaitu Society, kurang lebih kebalikan dari Community. Jika Community berciri emosional-kekeluargaan dan non kalkulatif, maka masyarakat bertipe Society persis bersifat rasional, dan sebab itu bersifat kontraktual dan kalkulatif. Masyarakat yang hubungan antar-individunya didasarkan pada kalkulasi untung-rugi. Dalam skema Tonnies, termasuk kategori Society. Secara gamblang Tonnies menerangkan hubungan sosial pada Society bertopang pada pertukaran ekonomi. Seturut itu, Society juga berjalan di atas rel hukum kontrak. Jika dihubungkan dengan geografi, tipe masyarakat ini identik dengan perkotaan.
Pemilahan Tonnies ini kian menarik, ketika ia mengkonsepsi Community sebagai kemasan bagi masyarakat berbentuk irrasional. Ia menghadirkan konsep “Community of mind”, yakni salah satu tipe community (Gemeinschaaft) yang terbentuk dari “kesamaan ideologi atau pikiran”. Bagi Tonnies sebuah masyarakat irrasional terbentuk dari individu-individu rasional, yakni hubungan berpola irrasional di antara individu-individu rasional. irassionalitas berkat rasionalitas!
Mungkin kah sebuah komunitas irrasional terbentuk dari individu-individu rasional? Jawabnya, mungkin saja. Sama sekali bukan sebuah hal musykil bahwa sebuah komunitas irrasional justru terbetuk dari individu-individu beralam-pikir rasional. Banyak contoh sebagai bukti. Sebutlah partai-partai politik dengan ideologinya, sindikat-sindikat anarkis, atau paguyuban mahasiswa yang dengan teguh memperjuangkan idealisme tanpa diganggu orientasi praktis tertentu.
Posisi mencengangkan dari pemilahan Tonnies, bahwa ia telah menghadirkan sebuah eksposisi terhadap hal-hal biasa, yang karenanya sukar disadari perbedaannya. Tanpa Tonnies, hingga hari ini kita mungkin tidak akan menyadari keberadaan “Community of mind” sebagai sesuatu yang distingtif. Kita mungkin hanya bisa membenak bahwa “ada masyarakat yang bentuknya begini”— tapi tidak tahu persisnya.
Sebagai pembelajaran dari konsepsi Tonnies, saya merefleksi ungkapan Woe u Gampong dalam diskursus community dan society.
blang padang, peringatan 10 thn tsunami aceh
Kembali Menjadi Community !
Boleh jadi ungkapan woe u gampong kawan saya itu adalah sebuah ‘alat politik’ ketika itu. Sebuah ungkapan pemersatu bagi para korban pasca bencana. Pendek kata sebuah “slogan” terhadap sebuah fakta geografis. Kampung dalam pemakaian ungkapan itu adalah sebuah pemukiman di tengah alam yang masih asri, yang hadir mengisi ruang tanpa suatu tata-rencana penggunaan ruang sebelumnya, alias pemukiman yang terbentuk dengan cara ‘tumbuh’ dalam contingency. Terhadap pengertian ini, kata gampong diapresiasi sebagai kampung dalam kerangka Tonnies.
Dengan pemilahan Tonnies, maka “kembali ke kampung”, berarti juga “kembali menjadi community”. Makna di sini “kampung” tidak terbatas sebagai sebuah fakta geografis, melainkan mewakili corak sosial “community”; yang emosional, a-kalkulatif dan sebagainya. 
Apa dampak pengembangan makna woe gampong menjadi back to be community? Bahwa dengannya mensyaratkan adanya “solidaritas sosial” — atau “solidaritas mekanik” ala Durkheim. Bila dikaitkan dengan konteks penanggulangan bencana pasca gempa dan tsunami Aceh, apalkah ikatan sosial (social cohesion) itu memang tumbuh? Sebuah normatif populer bisa kita sebutkan di sini sebagai jawabannya. Yakni, sebuah masyarakat dengan solidaritas yang kuat dengan sendirinya akan memiliki semacam “daya lenting” yang kuat terhadap apa-apa yang mengenainya, entah itu bencana alam atau musibah lainnya. Sebuah masyarakat dengan solidaritas yang kuat, secara ‘mekanis’ adalah sebuah kelompok vigilante, kelompok siaga dengan kesiapsiagaannya. Yang para anggotanya otomatis saling menolong dengan empati bila terkena musibah, tanpa perlu menunggu koordinasi dari misalnya jawatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau pun Satkorlak.
Artinya, seruan wou e gampong bisa dikontekstualisasi ke dalam masyarakat perkotaan (society) yang rasional itu. Tentu saja seruan itu dalam rangkaian membangun solidaritas para warga kota. “Ayo kembali ke kampung” berarti ajakan juga mobilisasi dukungan para survivor (orang-orang selamat) untuk membangun kembali kampungnya dengan energi positif, solidaritas, partisipasi dan a-kalkulatif.
 
Enggano, 25 Desember 2014

Wednesday, December 10, 2014

HAM 365

Logo 2014

M. Nawir
UPC – JERAMI Indonesia
Tercatat 26 hari besar dan kejadian penting selama bulan Desember. Beberapa di antaranya adalah Hari AIDS, Hari Anti Korupsi, Hari Hak Asassi Manusia, Hari Kesetiakawanan Sosial, dan Hari Ibu. Hari HAM ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1950, dua tahun setelah PBB mendeklarasikan Piagam Universal Hak Asasai Manusia, atau tiga tahun pasca Perang Dunia Kedua.
Hari HAM juga dimaknai sebagai Hari Humanisme, yang pertama kali dideklarasikan oleh International Humanist and Ehical Union. Makna hari HAM adalah mengembalikan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bentuk penentangan pada rezim-rezim fasis yang mengobarkan peperangan dan penindasan hak-hak masyarakat sipil.
Di Indonesia, makna penting hari HAM adalah peristiwa kematian Munir Said Talib pada 7 September 2004. Pembunuhan terhadap aktivis HAM, kelahiran Malang, 8 Desember 1965 ini dinyatakan sebagai Pelanggaran HAM Berat. Para aktivis HAM kemudian mengajukan tanggal 7 September sebagai Hari Pejuang HAM.
PBB menilai bahwa penegakan HAM setahun terakhir masih “maju-mundur”. Di satu sisi pemenuhan hak sipil dan politik mengalami kemajuan dengan semakin tumbuhnya partisipasi politik, keterbukaan informasi, yang disertai dengan berkembangnya demokratisasi. Visi dan misi negara demokratis mengemuka. Akan tetapi, pemenuhan hak-hak dasar lainya dipandang belum mencapai kemajuan yang signifikan. Kekerasan, diskriminasi, dan kemiskinan masih merupakan masalah laten di banyak negara.
Itulah sebabnya, tahun ini PBB menerbitkan slogan  Human Rights 365, yang mencakup gagasan tentang penegakan HAM sehari-hari. Petikan 365 menyatakan setiap negara menjadikan hak asasi manusia sebagai prinsip dan nilai yang mengikat, menjadi milik dan urusan masyarakat global dengan cara menghormati dan melembagakannya dalam kehidupan sehari-hari (every day is a human right day).
HAM 365 memandu kesadaran setiap orang, di manapun, dan kapan pun untuk berperilaku peduli pada kesetaraan, anti-kekerasan dan non-diskriminasi. Pelembagaan HAM 365 dapat dimulai dari partisipasi kaum muda, yang saat ini populasinya mencapai sekira 40%. Penghormatan HAM 365, pun memandatkan kepada setiap negara untuk menuntaskan pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga, terutama hak atas pekerjaan dan upah yang optimal, air bersih, perumahan yang layak, pangan yang sehat, pendidikan dan kesehatan yang terjangkau.
Tentu saja, pemerintahan Jokowi-JK sudah harus menuntaskan penyelesaian kasus-kasus HAM Berat, sepeti kematian Munir, dan tragedi kemanusiaan lainnya.

Sunday, December 7, 2014

Melepas Kepergian Sahabat

alm. DR. Latied, M,Hum (kiri) dalam dikpol KPRM
Doa ini kusemaikan di ubunmu menyertai nafas terakhirmu. Berangkatlah menemui kekasihmu yang telah lama kau rindui 
Begitu lah kesadaran tentang kematian yang ditulis.almarhum DR. Abdul Latief, M.Hum (51 th), seorang guru, penulis buku Sejarah Politik Ajattapareng, dan pegiat humaniora, yang konsisten, Ia menulis pesan di atas pada status BBMnya bertanggal 25 Nopember, dan wafat 2 Desember 2014. 
Mengapa para sufi atau pun filosof menegasi kehidupan manusia sebagai situasi yang fana? Para aktivis pro demokrasi pun menuntut kebebasan sebagai hak hidup setiap orang. Seakan manusia hidup dalam cengkeraman kejahatan dan dibelenggu pembatasan.  Bukan kah hidup ini indah, dan karena itu dinikmati saja sepuasnya selagi hidup.
Kematian urusan belakangan. Toh, orang mati tidak memiliki beban apa-apa lagi. Hilang ruang, waktu, dan materi. Tanpa rasa, karsa, dan cita-cita. Orang mati urusannya orang hidup, keluarga, sahabat, segenap handai taulan. Segala kenangan manis dan utang-piutang milik orang-orang yang ditinggalkannya.
Maka kematian bukan sekadar tragedi yang ditangisi orang-orang hidup. Hikmah kematian menyadarkan pada suatu dalil, yakni perintah kebudayaan (cultural-imperative). Seperti halnya, rezki dan jodoh. Setiap manusia pasti mati, pada akhirnya. Manusia hanya berusaha untuk menggapai hasrat dan cita-cita hidupnya dengan cara mengendalikan diri, menjaga kesehatan, memenuhi kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan. Itu sebabnya, orang takut pada proses menuju mati.
Mengapa kita rasanya takut pada bayang-bayang kematian. Barangkali kita sedang mengkhawatirkan sesuatu yang kita miliki terlepas. Harta, kuasa dan kesenangan, cerminan segala kefanaan itu akan menjadi milik orang lain.
Chairil Anwar menulis bukan kematian benar menusuk kalbu, keridhoanmu menerima segala tiba. Begitu lah Chairil Anwar memaknai kematian orang yang dicintainya. Kematian adalah proses melepaskan diri dari segala belenggu kefanaan. Keikhlasan dan kebebasan yang sejati itu lah kematian. Itulah sebabnya para sufi mengajarkan kita untuk bebas dari kemewahan duniawi. Para guru melatih kita untuk terbiasa berbagi, bersedekah. Dengan kata lain melepaskan sebagian milik kita, sebelum akhirnya melepas segala apa yang kita miliki. Nyawa dan Harta. (dimuat harian Tribun Timur, 3 Desember 2013)

Friday, December 5, 2014

Paralegal Penggerak Komunitas

Teater Rakyat - KPRM
Bahan Diskusi Tim Pelatih LBH Makassar
Oleh M. Nawir 
Bahasa Indonesia kesulitan mendefinisikan kata paralegal. Sejauh yang dikembangkan, paralegal merujuk pada subjek dan kegiatan yang menyertai profesi kepengacaraan. Seorang paralegal diposisikan sebagai “pembantu” pengacara, laiknya hubungan paramedis dengan dokternya. Pengertian ini merujuk pada praktik paralegal yang dikembangkan organisasi bantuan hukum di beberapa negara maju.
Di Indonesia, praktik keparalegalan tidak selalu mengikut pada kegiatan bantuan hukum. Misalnya, WALHI mengembangkan paralegal dalam advokasi lingkungan hidup. Demikian halnya, Koalisi Perempuan Indonesia dengan paralegal KDRTnya. Paralegal di sini menyangkut kualitas, sehingga paralegal yang dimaksud adalah kemampuan seseorang (sikap, pengetahuan, keahlian) dalam kegiatan advokasi non-litigasi. Dalam pengertian ini paralegal diposisikan sebagai kader pengorganisasian komunitas, yang bekerja di arena advokasi. Berbeda dengn kegiatan community-development yang berorientasi pada peningkatan pendapatan maupun peningkatan keahlian semata-mata.
Paralegal sebagai Kader Komunitas
Pendidikan paralegal diperlukan untuk memastikan tujuan advokasi adalah memecahkan persoalan, dan akhirnya memberdayakan rakyat. Metode pembelajaran yang relevan adalah pendidikan rakyat (popular-education). Metode ini lebih mengutamakan proses saling belajar untuk mencapai tujuan bersama. Saling belajar berarti, menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi dan pengetahuan yang kontekstual; menghargai prinsip kesetaraan, dan; bersepakat untuk bertindak bersama memecahkan persoalan. Oleh karenanya, hasil-hasil dari suatu rangkaian pendidikan itu bervariasi.
dg bangkala karuwisi (47)
Jatidiri seorang paralegal adalah pembelaan dan pelayanan, yang dilakukan secara partikelir maupun dibawah organisasi berbadan hukum. Sebagai ilustrasi, berikut ini adalah beberapa profil penggerak komunitas yang memiliki kualitas seorang paralegal.
Pettadewi Dg. Bangkala. Mulai berjuang mempertahankan tempat tinggalnya di Karuwisi pada tahun 1997. Perempuan paruh baya ini dikenal ahli dalam memediasi kasus-kasus warga miskin. Pengetahuannya dibentuk oleh pengalaman langsungnya sebagai korban penggusuran 2003. Dg Bangkala menjadi inspirasi banyak masyarakat miskin yang terancam penggusuran, seperti di Bontoduri, Kassi-kassi, kampung Pisang, Buloa, Lepping. Sejak tahun 2004, Dg. Bangkala tinggal di Pallangga kabupaten Gowa, sebuah rumah yang dibeli dari uang hasil kompensasi.
dg caya pabaeng-baeng(50)
Hasnia Dg. Caya. Dikenal sebagai aktivis KPRM, seumuran dengan Dg. Bangkala. Sejak tahun 2002, Dg Caya menjadi penggerak kelompok Tabungan Harian (daily savings) untuk membeli tanah lantaran tinggal di rumah kontrakan bersama suami yang buruh bangunan dan 9 anaknya. Dalam sepuluh tahun terakhir, dia berperan aktif sebagai mediator pengaduan masyarakat miskin menyangkut akses pelayanan kesehatan, raskin, anak sekolah, akte kelahiran, KDRT, dll. Namanya populer di kalangan pejabat birokrasi dan Walikota. Memiliki rumah dan tanah sendiri, yang dibeli dari tabungan keluarga.

dg kebo maccini sombala (52)
Salmah Dg. Kebo. Janda 60-an tahun yang pekerjaan sehari-harinya adalah tukang jahit kampungan. Dia yang dikenal apik membuat catatan harian dan pembukuan keuangan organisasi. Dari pengalaman berorganisasinya, Dg. Kebo dipilih warganya menjadi ketua RT. Dari keahliannya, Dinas Sosial memberikan bantuan 10 mesin jahit, yang kemudian dikelola bersama sahabatnya Dg. Nur. Dengan 10 mesin itu, ibu-ibu rumah tangga sekitarnya bekerja sambilan menjahit pakaian.
dg sampara kamp pisang (48)
Dg. Sampara. Tukang kayu yang digelari arsitek kampung oleh jaringan Arsitek Komunitas (ARKOM). Bersama Dg Tuppu, kepala tukang dari Bontoduri menginspirasi 50-an warga Bungkutoko Kendari untuk merekonstruksi perumahan pasca sengketa. Dg. Sampara menjadi penggerak utama dalam pilot program land-sharing dan penataan pemukiman warga Kampung Pisang di Maccini Sombala.
Keempat ilustrasi di atas memperlihatkan proses pembelajaran yang bertolak dari konteks persoalan, potensi, dan pengetahuan dasar komunitas. Ruang pendidikan yang sesungguhnya adalah di luar kelas, yakni tindakan bersama untuk memecahkan persoalan secara terorganisasi. Tindakan-tindakan dimulai dari persoalan dan pengalaman sehari-hari orang kampung. Peran utama aktivis pendidikan rakyat atau pun “paralegal” adalah mengembangkan proses penyadaran tentang potensi, hambatan, dan peluang yang dihadapi suatu komunitas dalam pemecahan masalah.
Membentuk Watak Kader Paralegal
Suatu proses pendidikan yang memampukan suatu komunitas agar kritis dan bertindak selayaknya diukur dari hal-hal berikut ini:
1.      Sikap Dasar
Aspek ini berkenaan dengan derajat keyakinan (afeksi) kita kepada orang lain (komunitas). Keyakinan bahwa setiap orang memiliki pengetahuan yang unik, lebih suka diajak bercerita daripada diceramahi, dan percaya bahwa kita bukanlah dewa penolong. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Monyet dan Ikan Mas di musim Hujan. Hikmahnya, seorang paralegal percaya bahwa rakyat mengalami penindasan, dehumanisasi, bukan berarti dia lah yang akan membebaskan rakyat dari situasi penindasan itu. Latihan Praktisnya adalah membaca, menyimak, dan menyikapi informasi yang bertolak belakang dengan kebiasaan sehari-hari kita. Materi diskusinya adalah mengukur tingkat kepercayaan (percaya, ragu-ragu, tidak percaya) berdasarkan skala 0 – 10. Misalnya, informasi tentang  mengkonsumsi Teh menyebabkan kanker.
2.      Pengetahuan
Pengetahuan atau pun informasi ibarat peluru. informasi memerlukan pembaruan secara kontinyu. Aspek ini berkenaan dengan pemahaman (kognisi) kita terhadap realitas yang dihadapi. Prinsipnya, pemahaman yang cukup tentang persoalan dan potensi yang dihadapi komunitas semakin memudahkan kita mengembangkan posisi dan disposisi bersama komunitas. Ilustrasi yang pas dengan aspek ini adalah cerita tentang Burung dan Katak dalam Sumur. Hikmahnya, pengetahuan yang sederhana sekalipun jika berterima akan menjadi kekuatan perubahan. Mentautkan pengetahuan lokal dengan informasi global akan mencerahkan komunitas. Latihan Praktis, misalnya Analisis Produk Kemasan untuk membngun pengetahuan tentang aspek hukum (label), kandungan, proses produksi, jaringan pasar, dan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan hidup.
3.      Keahlian
Aspek ini berkenaan dengan kemampuan kita meggunakan berbagai teknik penggalian informasi. Teknik analisis sosial (Ansos), rekonstruksi sejarah komunitas, dan tekni problem-solving, penting dipraktikkan bersama komunitas secara berulang-ulang. Diibaratkan ilmu silat, teknik-teknik itu adalah jurus-jurus yang memerlukan latihan. Ilustrasi yang relevan dengan aspek ini adalah cerita Elang vs Siput atau pun Kura-kura vs Kancil. Hikmahnya, seorang paralegal memerlukan teknik komunikasi (bahasa) yang mudah dimengerti komunitasnya. Belajar menggunakan bahasa lokal sangatlah penting untuk menumbuhkan trust. Sama pentingnya dengan menemukan padanan istilah hukum pidana dan hukum perdata yang mudah dimengerti oleh komunitas. Latihan Praktisnya, melakukan Role Play (bermain-peran) teknik penggalian informasi.
4.      Evaluasi dan Refleksi
Aspek ini merupakan kegiatan yang mencakup keseluruhan proses pendidikan. Evaluasi berbeda dengan proses reflektif. Evaluasi adalah penilaian aspek dan tahapan proses kegiatan dengan menggunakan tolak ukur tertentu untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian hasil maupun hambatan. Sedangkan refleksi merupakan proses memaknai atau meninjau kembali daur pembelajaran dan prinsip-prinsipnya untuk memperoieh kesadaran atau pengetahuan baru. Kegiatan evaluasi dapat dilakukan secara periodik atau pun menurut tahapan proses pendidikan. Salah satu teknik yang sering digunakan dalam pendidikan komunitas adalah refleksi atas pengetahuan dan proses di dalam kelas (review), dan luar kelas (refleksi).
Tantangan yang dihadapi aktivis paralegal adalah menanamkan pemahaman tentang aspek-aspek hukum (legal) kepada komunitasnya dengan bahasa yang operasional, mudah dicerna, dan diungkapkan kembali oleh komunitas. Metode pendidikan dan pengorganisasian komunitas dapat menjembatani kendala yang muncul dalam proses pembelajaran. Cara memulainya adalah dengan menjaga sikap dasar, yakni mengendalikan diri dari hasrat untuk mendominasi dalam interaksi dengan komunitas. Langkah awal ini akan menentukan proses pembelajaran berikutnya.

Friday, November 28, 2014

Kekerasan Batu

Respon terhadap Tawuran Menolak Kenaikan Harga BBM
Oleh M. Nawir
KASTA - Komunitas Alumni Unhas Tamalanrea

bongkahan batu permata
Akhir-akhir ini perbincangan tentang batu kian mengemuka. Di lorong-lorong perkampungan, kantor, warung, kampus, pasar dan terminal, warga kota saling memamerkan  koleksi batunya. Tidak terkecuali di jalanan. Para demonstran yang menolak kenaikan harga BBM pun mengumpul batu untuk persiapan jika terjadi bentrokan. Pendek kata, beberapa tahun ini sedang musim bebatuan.
Batu identik dengan benda padat yang memiliki skala kekerasan bertingkat-tingkat. Di sebut skala Mohs, berasal dari nama penemunya, Frederich Mohs, seorang ahli geologi berkebangsaan Jerman yang pertama kali membagi 10 tingkat kekerasan mineral batu. Skala kekerasan batu terendah adalah jenis Talek, seperti laiknya batu kapur atau pun gypsum, yang mudah dgores dan larut dalam cairan asam. Batu intan (diamond) dinilai berkekerasan tinggi dan termasuk batu kelas satu. Hanya dengan bubuk intan, batu-batu permata lainnya dapat digosok hingga mengkilap.
Secara objektif, semakin tinggi tingkat kekerasan batu tertentu, semakin tinggi nilainya. Batu-batu jalanan yang digunakan para demonstaran juga memiliki skala mohs. Kekerasannya di atas talek dan gypsum lah. Itulah sebabnya, batu-batu jalanan itu bisa memecahkan kaca mobil, juga kepala manusia.
Menilai kualitas jenis batu tertentu sangat subjektif, dan karena itu harganya fluktuatif. Misalnya, bacan, yang belakangan ini paling serius dibincangkan para pecinta batu. Hanya lantaran pak SBY pernah menghadiahkan jenis batu bacan kepada presiden Obama.  Ditilik dari skala kekerasannya, Bacan tergolong batu berkelas tiga. Jauh di bawah intan, topaz atau pun ruby. Banyak sumber informasi menyebut mineral batu yang khas dari kepulauan Maluku itu termasuk jenis batu Krisokola.  Skala mohsnya 4 – 3. Namun, diakui skala mohs jenis krisokola seperti bacan itu bisa meningkat rata-rata 6-5 setelah mengalami proses fisis.
Masyarakat Sulsel juga memiliki sumber mineral bebatuan yang kaya. Para geolog dan pecinta batu permata sedang menggali jenis batu yang khas orang Sulsel. Sejauh yang beredar di pasaran adalah jenis batu berkelas tiga, yang diistilahkan dengan batu lokalan sepeti Badar, Garnet, Lumut. Jenis batu yang umum dipakai orang Sulsel adalah batu Ako’ (Safir) dan Peroso’ (Pirus). Digemari karena bertautan dengan kepercayaan orang bugis-makassar bahwa kedua jenis itu pernah digunakan Sawerigading dalam petualangannya. Diukur dari tingkat kekerasan (skala mohs), Ako’ dan Peroso termasuk batu berkelas dua dan tiga. Skala mohsnya berkisar 6,5 sampai 5.  
Pasar bebatuan mula di kota Makassar, lumayan bagus prospeknya. Para pengrajinnya tersebar di kampung-kampung maupun di pasar. Usaha ini termasuk industri kreatif, yang cukup lama. Konsumennya pun meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan penrtumbuhan kelas sosial. Di sudut kiri pasar sentral, setiap hari ramai dikunjungi para pecinta dan pengrajin batu permata.  Segala jenis bebatuan mulia maupun batu imitasi tersedia dengan harga bertingkat-tingkat, sesuai penawaran.
Hobby batu memang unik. Mereka yang menggemarinya tentu menyukai kekerasan, dalam pengertian ilmiah. Pribadi-pribadi yang memakai batu-batu mulia mencerminkan bagian dari kepribadiannya, juga status sosial. Di baliknya, tersimpan cita rasa kebudayaan.  Namun, jika salah dalam penggunaannya, jenis bebatuan apa pun bisa melukai, bahkan membunuh manusia.

Monday, November 24, 2014

Tentang Moralitas Guru

T-Shirt Harian Kompas
M. Nawir KASTA
Komunitas Alumni Unhas Tamalanrea
Beda dahulu dengan sekarang. Tidak berarti mengidolakan yang dahulu, yang sekarang bukan idola. Sudah terlanjur melekat nilai-nilai kemuliaan pada sesuatu atau seseorang yang dahulu. Misalnya, guru ‘umar bakri’ versi lagu Iwan Fals, yang ‘jujur berbakti’, yang menghasilkan profesor, insinyur  dan menteri. Tetapi, sang guru masa lalu itu masih ‘bersepeda kumbang’ dengan tas dari ‘kulit buaya’.
Guru hari ini pun menghasilkan profesor, insinyur, menteri, dan banyak lagi. Sama dengan jamannya guru umar bakri, murid-murid suka tawuran dan berurusan dengan polisi. Yang jelas berbeda, guru dahulu bersepeda di jalan yang becek dan berlubang. Guru sekarang bersertifikat, bersepeda motor dan bermobil. Banyak guru terjebak dalam kemacetan. Tetapi tantangan yang dihadapi relatif sama, yaitu menjamin moralitas dirinya dan murid-muridnya dikenang sepanjang masa.
Paulo Freire, seorang intelektual Amerika Latin, patut menjadi teladan para guru di dunia. Ia mengembangkan metode pendidikan dan untuk pengembangan masyarakat. Dasar-dasar teorinya dibangun dari realitas lingkungan sosial siswa, ia Freire berasumsi bahwa seorang siswa tidak cukup dengan membaca kalimat, misalnya “anak pergi ke sekolah, ibu ke pasar, bapak ke kantor”. Siswa diperkenalkan pada pemahaman tentang Anak, Ibu dan Bapak dalam konteks sosialnya. Pada tahun 1964, Freire dipenjara tujuh puluh lima hari atas tuduhan mengembangkan teori radikalisme. Karya-karya Freire kemudian diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, dan memperoleh gelar Doktor HC dari dari 20 universitas di dunia.
Tetapi, seorang guru juga manusia, bukan malaikat. Begitu, kata kaum muda sekarang. Dan, karena itu para guru menuntut kesejahteraan dan fasilitas pendidikan yang layak. Pemerintah pun menaikkan standar gaji PNS guru, disertakan program sertifikasi, dana BOS, bantuan siswa miskin, dan semacamnya. Karena, guru juga manusia biasa, tidak otomatis semua program itu mencerdaskan kehidupan siswa dan masyarakat.
Sejak dahulu, siswa dan mahasiswa, yang suka tawuran maupun yang kutu buku, masih mengidolakan guru yang gaul, bersahabat, tekun mengajar, sederhana, dan terlibat dalam pemecahan masalah.
Begitulah seharusnya.Mendidik dan mengembangkan masyarakat adalah dua kegiatan yang tidak terpisah. Ibarat kata dan perbuatan, tercermin dalam ungkapan Lao Tse, filsuf Tiongkok kuno, “jarkan apa yang kau lakukan, lakukan apa yang kau ajarkan”. Keduanya menegaskan moralitas guru adalah pendidik sekaligus pemimpin. Perkataan dan perbuatannya menjadi panutan murid dan masyarakat. (Dimuat Harian Tribun Timur, November 2014)

Friday, November 14, 2014

Siaran Pers ALMISBAT Makassar

"Mengecam Tindak Kekerasan Aparat Kepolisian terhadap Aktivis Pro-Demokrasi"
Pemerintahan Joko Widodo dan Yusuf Kalla merupakan pemerintahan berwatak demokratis, dan karena itu kebijakan-kebijakan yang akan dihasilkannya pun akan mempertimbangkan kehendak rakyatnya. Demikian halnya dengan rencana pengalihan subsidi BBM, yang saat ini mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat dan mahasiswa. Hal wajar dan masih dalam koridor demokrasi. Sepanjang sikap penolakan itu diwujudkan secara konstitusional, bersandar pada kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum, maka tidak ada alasan aksi-aksi mahasiswa itu dihadapi dengan cara-cara kekerasan, apalagi menggunakan senjata.
Sejauh yang kami pantau dan pelajari dari aksi-aksi penolakan kenaikan harga BBM, seperti yang terjadi pada aksi mahasiswa Universitas Nasional Makassar (13/11/2014), dimana telah terjadi penganiayaan mahasiswa dan jurnalis, disertai pengrusakan terhadap fasilitas kampus maupun  milik pribadi, menunjukkan suatu sistim pengamanan yang buruk dari aparat kepolisian terhadap aksi-aksi parlemen jalanan tersebut. Tindakan aparat pengamanan sudah melampaui standar operasional pengamanan terhadap pengunjuk rasa. 
Kami menolak istilah tindakan “spontan anak buah” sebagaimana yang diucapkan Kabid Humas Polda Sulselbar, Kombes Pol  Endi Sutendi. Tindak spontan sehubungan dengan isu Wakapoltabes kena panah dari oknum tertentu, yang sebenarnya masih memerlukan pembuktian siapa pelakunya. Para pengunjuk rasa atau pun pihak-pihak tertentu. Istilah tindakan spontanitas itu adalah alasan yang dibuat-buat pihak kepolisian. Pada prinsipnya, pihak kepolisian telah bertindak arogan, dan bertentangan dengan konstitusi.
Hemat kami, aparat kepolisian pelaku kekerasan dan pengrusakan harus diusut dan ditindak tegas sesuai ketentuan disiplin aparatur negara. Demikian sebaliknya,  harus diusut dan ditindak tegas pelaku unjukrasa yang diduga melakukan tindak kekerasan terhadap aparat pengamanan. Dengan begitu, citra POLRI sebagai pengayom masyarakat dan penegak hukum tidak tercoreng hanya karena tindakan emosional okonum-oknum di lapangan. Jika hal seperti ini gagal dibuktikan, maka tindakan yang sama akan terus berulang, yang pada dgilirannya menurunkan kredibilitas pemerintahan demokratis Jokowi-Kalla.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami, Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat (Almisbat) Makassar menyampaikan sikap:
  1. Hentikan cara-cara premanisme dalam aksi menolak pengalihan subsidi BBM
  2. Usut tuntas para pelaku pengrusakan dan tindak kekerasan terhadap mahasiswa maupun jurnalis dan masyarakat
  3. Mendesak Kapolda Sulselbar untuk bertanggung jawab atas segala kerugian akibat penganiayaan mahasiswa maupun jurnalis dan pengrusakan fasilitas kampus maupun milik pribadi
  4. Menghimbau para rektor perguruan tinggi di kota Makassar untuk membuka forum-forum diskusi dan klarifikasi perihal rencana pengalihan subsidi BBM.
Demikian pernyataan pers kami sebagai bentuk solidaritas terhadap korban kekerasan, dan usaha kami dalam mengawal pemerintahan yang demokratis.

Makassar, 14 Nopember 2014

Friday, October 31, 2014

Berbagi Lahan Menata Pemukiman Kumuh

Cerita dari Kampung Pisang
dialog kebijakan habitat day, makassar 2914
Sudah hampir sepuluh tahun (2004 - 2014) 49 KK warga Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala Makassar menguasai sebagian kecil lahan, yakni sekitar 7000 are dari total 3,7 hektar. Awalnya hanya 26 unit rumah semi permanen. Lahan ini berada dalam kawasan pengembangan GMTD (Gowa Makassar Tourism and Development). Menurut kesaksian warga, lokasi yang dimaksud dulunya rawa-rawa dan empang. Sekira tahun 1980, ketika Pemkot membangun tanggul di hulu  aliran sungai Jeneberang, hasil pengerukan sungai tersebut dipakai menimbun lokasi Kampung Pisang. Sejak saat itu lokasi tersebut dijadikan kebun, terutama tanaman pisang oleh penggarap. Hingga tahun 2002, warga mulai mendiami sebagian kecil lahan, sambil tetap berkebun dan beternak sapi. Warga sekitar menyebutnya Kampung Pisang. Setelah menjadi pemukiman baru di wilayah RT 04 RW 05, konflik pun mencuat pada tahun 2004 ketika kuasa ahli waris pemilik tanah membuat pagar beton sekeliling lahan.
Tinggal dan berumah di atas lahan yang telah dipagar beton oleh pemiliknya tidaklah nyaman. Tanpa fasilitas air bersih, listrik, dan akses jalan yang sempit. Seringkali kedatangan orang suruhan pemilik tanah dan orang kelurahan yang membujuk, menakut-nakuti, bahkan mengintimidasi warga agar bersedia menerima uang kompensasi. Betkali-kali pula Lurah maupun Camat menfasilitasi perundingan itu. Hasilnya pun nihil. Pernah juga lima orang perwakilan warga dipanggil ke kantor Polsek Tamalate untuk mengklarifikasi tuduhan penyerobotan tanah oleh orang suruhan pemilik tanah. Beruntung, tuduhan itu tidak semuanya benar. Pihak kepolisian pun tidak dapat memastikan adanya pelanggaran hukum karena bukti-bukti klaim kepemilikan tanah masih simpang siur. Demikian halnya ketika warga berdialog dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar, pada waktu itu, status tanah kampung pisang masih dalam sengketa berbagai pihak. Lahan seluas 1,7 hektar itu dikuasai oleh keluarga penggarap Dg. Maro sebagai penjual kepada warga. Ada pun pihak-pihak yang saling klaim di antaranya keluarga Andi Pammussureng, keluarga Andi Mappagiling, dan belakangan klaim SHM atas nama Jhon Tandiary, seorang pengusaya properti.
Banyak kalangan tidak percaya warga Kampung Pisang sanggup mempertahankan tempat tinggalnya. Nasib warga bergantung pada pihak luar, yakni KPRM. Dan itu tidak sepenuhnya benar. Pada tahun 2009, dalam kesempatan workshop regional Women Againts Eviction yang diselenggarakan oleh UPC, Huairou Commission dan LOCOA di Makassar, Walikota Ilham Arief Sirajuddin menyatakan sanggup memediasi sengketa dan menegaskan bahwa warga Kampung Pisang tidak akan digusur. Pernyataan ini diungkapkan di hadapan 30-an peserta yang berasal dari enam negara ASIA (Indonesia, Pilipina, Myanmar, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Korea Selatan). Sebagai tindak lanjutnya, walikota Makassar berkunjung ke lokasi dan berdialog dengan seluruh warga Kampung Pisang. Walikota menegaskan kembali tidak ada penggusuran, asalkan warga siap ditata. Momentum itulah yang dijadikan warga yang terorganisasi dalam Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) dengan mengajukan konsep berbagi lahan (land-sharing) dan penataan pemukiman.
Kerja keras pun dimulai. KPRM bekerjasama dengan Bappeda Kota Makassar menghadirkan para ahli perencana kota dari Jakarta (RUJAK Center), Yogyakarta (ARKOM), dan arsitek senior UNHAS dalam suatu workshop Bedah Kampung Terpadu. Tindak lanjutnya adalah pemetaan partisipatif warga Kampung Pisang sebagai pilot berbagi lahan dan berdah kampung. Jadilah sebuah desain tata pemukiman di atas lahan 7000 meter lengkap dengan maket yang dibuat dan disepakati seluruh warga. Sebagai konsekuensi, sebanyak 12 rumah harus dibongkar dan dipindahkan ke lokasi baru. Tindakan ini menjadi pertanda kesiapan warga untuk bergotong royong dan berkorban.
Kerja keras tidak selalu memuluskan harapan ideal. Antara tahun 2010-2013 proses perundiugan mengalami kemandekan, dan situasi politik lokal pun sedang memanas. Pihak pemilik tanah menolak desain versi warga, dan menawarkan lokasi baru, yakni lahan empang seluas sekitar 3000 meter. Lokasi ini masih dalam kawasan sengketa yang terletak di RT 02/05. Tahun 2011 pemilihan gubernur, disusul pemilihan walikota tahun 2012, sampai menjelang pemilihan anggota legislatif. Namun,  pada tanggal 5 Juni 2013 dalam situasi transisi kepemimpinan politik kota Makassar itulah Kampung Pisang menjadi lokasi kunjungan Utusan Khusus PBB (UN Special Repporteur) urusan Perumahan Ms. Raquel Rotnik. Acara ini dihadiri pejabat Pemkot Makassar, Camat, Lurah, juga Pemkot Kendari, serta perwakilan kampung-kampung bermasalah, Kunjungan ini membawa optimisme baru bahwa kampung pisang dan kampung-kampung lainnya dibawah pemantauan PBB.
Masih dalam suasana kontestasi politik, terbit surat pribadi yang ditandatangani Jhon Tandiary yang ditujukan kepada warga Kampung Pisang. Poinnya adalah pihak Jhon Tandiary yang mengaku pemilih tanah bersertifikat bersedia menyerahkan sebidang tanah seluas +/- 3000 meter. Penawaran menjadi bahan diskusi panjang di antara warga dan organisasi penduikungnya. Singkat cerita, warga Kampung Pisang bersedia menerima tawaran tsrsebut dengan syarat: (1) dilakukan penimbunan atas biaya pihak kedua; (2) pemerintah kota menfasilitasi penerbitan sertifikasi hak milik untuk 49 KK. Sebagai tindak lanjutnya, KPRM bekerjasama dengan pemerintah kota melakukan pertemuan di kantor kecamatan Tamalate, yang dihadiri Walikota Ilham Arief Sirajuddin dan kepada Bappeda. Dalam pertemuan itu, walikota berjanji hanya akan menerbitkan Akte Hibah kepada 49 KK.
Link informasi terkait::


Monday, October 27, 2014

Merayakan Hari Habitat 2014


Suara Rakyat dari Pemukiman Kumuh
Hari Habitat (Habitat Day) dirayakan setiap tahun pada senin pertama bulan oktober. Badan PBB urusan Pemukiman (UN Habitat) merayakannya sejak tahun 1986 untuk mengingatkan masyarakat dunia tentang situasi lingkungan pemukiman rakyat di perkotaan. Tema Hari Habitat 2014 adalah Voices from Slums, yang menegaskan kembali kondisi pemukiman kumuh yang sebagian besar dihuni masyarakat miskin. PBB memperkirakan ada satu miliar penduduk yang tinggal dalam pemukiman kumuh yang dipicu oleh pertambahan angka kelahiran dan perpindahan penduduk di perkotaan.
Kondisi pemukiman kumuh adalah kenyataan hari ini, di depan mata, dimana tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, rumah yang tidak layak huni, ketiadaan fasilitas air bersih, kemiskinan dan terbatasnya lapangan kerja. Pada umumnya pemukiman kumuh tidak memiliki ruang publik, lahan tempat tinggal yang tidak aman (unsecure tenure), serta jalan dan lorong yang sempit sehingga menyulitkan akses warga pada pelayanan darurat. Kebakaran dan banjir menjadi bencana laten dalam pemukiman kumuh.
Pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan perumahan yang layak, dan daya dukung lingkungan.Pemukiman kumuh dengan rumah yang tidak layak huni berkaitan langsung dengan status kemiskinan. Data BPS (2011) menunjukkan sebesar 12,57% rumah tangga kumuh di perkotaan. Sumber yang sama menyebut 8,46 juta unit rumah dianggap tidak layak huni. Sekitar 4,69 juta Rumah Tangga  yang menempati lahan yang tidak aman (Nugroho, 2013). Kondisi ini berpotensi konflik penguasaan tanah, yang seringkali berujung pada penggusuran paksa (force eviction) tanpa alternatif pemecahan masalah yang menguntungkan rakyat miskin. Selain itu, kota-kota besar di Indonesia mengalami kekurangan ruang terbuka hijau (RTH), yakni rata-rata kurang dari 30%. Hanya 129 dari 415 kabupaten/kota yang memiliki data pemukiman kumuh yang aksesibel.
Peningkatan kegiatan ekonomi kota memicu urbanisasi dan migrasi penduduk desa ke kota-kota besar seperti Makassar. Dengan jumlah penduduk 1.371.904 jiwa, kota Makassar menyisakan keluarga miskin 62.096 RT (BPS 2011), di antaranya rumah yang tidak layak huni 3.197 RT. Sebanyak 62.550 jiwa penduduk miskin bertempat tinggal dalamkawasan kumuh seluas 398,49 HA pada 10 kecamatan dan sekitar 23 kelurahan (Idris Paratarai, 2011). Statistik kemiskinan ini mencerminkan angka kemiskinan secara Nasional. Meskipun angka kemiskinan turun dalam 10 tahun terakhir, pemerintahan SBY-Budiono dinilai tidak mencapai target MDG’s 2015. Statistik kemiskinan masih di atas sepuluh persen, yakni 11,5% tahun 2014 atau sekitar 28,5 juta jiwa dengan rasio gini (kesenjangan) hampir 4 %. 
tarian anak-anak kampis
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Sosial (Kemensos) telah memperbaharui strategi pengentasan kemiskinan dengan program Bedah Rumah dan pengadaan Sarana Lingkungan (Sarling) pemukiman kumuh. Program ini menjadi penting untuk dikembangkan (scale-up) secara komprehensif. UPC – Konsorsium Kemiskinan Perkotaan telah mengembangkannya melalui kerjasama program City Wide Upgrading. Pilot program dimulai dari pinggiran, yakni Penataan Kampung Strenkali Surabaya, UpgradingKampung Bungkutoko Kendari, juga Kampung Deret dan Rusunawa sekitar waduk Pluit Jakarta. Konsep “bedah kampung” mereformasi program “bedah rumah”, dimana pemecahan masalah kemiskinan dilakukan secara terpadu (integratif) dalam suatu pemukiman kumuh. Program ini pun menjadi model untuk solusi sengketa tanah pemukiman, yakni Berbagi Lahan (Land-Sharing) seperti yang dillakukan KPRM dan ARKOM di Kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala kecamatan Tamalate dan kampung pesisir Buloa kecamatan Tallo.  
Pemerintahan Joko Widodo-Yusuf Kalla, dalam hal ini kementerian terkait diharapkan mereplikasi dan menguatkan strategi penanggulangan kemiskinan melalui program Bedah Kampung Terpadu, yang partisipatif dan kolaboratif. Program ini mencakup kegiatan penghijauan, perbaikan sanitasi dan infrastruktur, pengelolaan sampah, peningkatan pendapatan keluarga (KUBE), serta penguatan organisasi warga dalam suatu pemukiman kumuh. Program ini juga akan berkontribusi pada perluasan ruang terbuka hijau (RTH) berbasis lorong perkampungan. 
Melalui perayaan Hari Habitat 2014 Jeajaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI) yang kami pusatkan di kota Makassar, sekaligus melaunchingprogram percontohan Penataan Kampung Pisang oleh Menteri Sosial, mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk:
penghargaan atas kerja keras
1. Mendukung dan menfasilitasi program Penataan Pemukiman Kumuh sebagai bagian dari kebijakan strategis pemerintah pusat dan kota/kabupaten dalam penanggulangan kemiskinan.
2. Menjadikan program Bedah Kampung Terpadu di perkotaan sebagai Quick Wins (100 hari) pemerintahan Jokowi – Yusuf Kalla periode 2015 – 2019.
3. Menghimbau pemerintah kota Makassar menjadikan penataan Kampung Pisang sebagai pilot program penataan pemukiman kumuh lainnya.

Makassar, 07 Oktober 2014  
JEJARING RAKYAT MISKIN INDONESIA
1.      Seknas UPC – Urban Poor Consortium Jakarta
2.      KPRM – Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar
3.      GERMIS – Gerakan Rakyat Miskin Kendari
4.      JRMK – Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta
5.      JRMK – Jaringan Rakyat Miskin Kota Lampung
6.      PW2SS – Paguyuban Wargra Strenkali Surabaya
7.      KLM – Korban Lapindo Menggugat Porong Sidoarjo
8.      AKRAM – Aliansi Rakyat Miskin Pare-pare
9.      ARKOM – Arsitek Komunitas Makassar
10.  SIAGA – Aliansi Masyarakat Tanggap Bencana Maros/Pangkep

Friday, July 11, 2014

Konstruksi Rumah Bambu

Catatan dari Field Visit on Affordable, Green and Resilient Housing
28 Juni 2014, Ilo-ilo City Philipine
M. Nawir 
bambu toraja
Promosi pemanfaatan bambu (bamboo) sebagai bahan baku perumahan rakyat semakin gencar.  Para pegiat pembangunan yang ramah lingkungan (sustainable development) terus melakukan uji coba konstruksi rumah bambu (bamboo-house construction) berbasis komunitas. Bukanlah hal yang baru, tetapi pemanfaatkan bambu sebagai bahan baku perumahan menarik untuk dikembangkan lagi (revitalisasi). Bambu menjadi alternatif dari penggunaan material yang tak terbarukan pada konstruksi perumahan modern. Selain mudah ditanam, bambu merupakan budidaya komunitas kampung yang mudah diperoleh.  Bambu bisa ditanam ulang secara padat karya, dibanding semen dan besi yang tidak bisa ditanam dan bersifat padat modal.
Bangsa Asia adalah pemilik sah dari tradisi budidaya dan pemanfaatan bambu. Pengetahuan lokal mereka mengenai budidaya dan pemanfaatan bambu untuk berbagai produk sehari-hari adalah berlangsung berabad-abad lamanya. Hingga kini pengetahuan dan tradisi itu masih dapat ditemukan di berbagai komunitas. Dan karena itu sangat potensial untuk dikembangkan dan disandingkan dengan pengetahuan baru tentang konstruksi perumahan.
pengawetan bambu
Tentu terdapat sisi kekurangan dalam konstruksi rumah berbahand dasar bambu. Pada berbagai komunitas perkotaan (urban), konstruksi bambu dipandang tidak cocok dengan tuntutan zaman. Selain pengetahuan lokal mereka yang terkikis, dominasi kontraktor bangunan beton dan serba logam berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan kota-kota baru. 

Kebijakan pemerintah pun turut mengikis kearifan lokal konstruksi bambu. Misalnya, sejak Pembangunanisme (developmentalism) Orde Baru dicanangkan, pemerintah mengklasifikasi bangunan non-permanen seperti berdinding bambu/kayu, beratap rumbia dan berlantai tanah adalah indikator kemiskinan. Dari kebijakan inilah proses pemiskinan berlangsung secara hegemonik, dan mengkonstruksi cara pandang masyarakat bahwa rumah bambu adalah rumah orang miskin atau setidaknya cermin dari kemiskinan komunitas.  Uniknya, kelas menengah terdidik yang membangun rumah bambu dengan desain interior dan eksteriornya yang ‘posmo’ turut membentuk pandangan bahwa rumah bambu itu vital meski[un mahal.
Rakyat miskin  disuguhi rumah-rumah murah (RSS dan RS) dalam proyek perumahan nasional maupun rumah susun. Hal ini berkembang pesat sejak era-80an dengan pendekatan kredit (KPR). Bahkan bahan baku batu bata diganti dengan batako, campuran pasir dan semen yang dianggap paling murah. Tetapi yang terjadi kemudian, rumah-rumah sederhana dan murah itu kualitasnya buruk. Dan, kebanyakan fasilitas kredit pemerintah disabotase oleh pegawai dan karyawan berpendapatan menengah ke bawah. Orang-orang miskin yang tidak memiliki akses pada kredit perbankan akhirnya membangun perumahan sendiri di lahan-lahan tidak bertuan, yang kemudian berpotensi konflik.
Konstruksi rumah bambu atau bervarian bambu semakin penting untuk dikembangkan bersama komunitas yang terorganisasi. Hal ini didasari kenyataan bahwa umumnya komunitas urban hanya memanfaatkan bambu sebagai aspek elementer dalam pembangunan rumah – selain memproduksi barang kerajinan yang bernilai ekonomis.
Masyarakat perlu disuguhkan contoh baik (best practices) dari pemanfaatan rumah yang murah dan tahan lama.  UN ESCAP – Komite Sosial Ekonomi PBB untuk Asia dan Pasifik merekomendasikan pemanfaatan bambu untuk konstruksi perumahan rakyat. Melalui program Green and Resilient Housing, UN ESCAP bekerjasama dengan HILTI Foundation menginisiasi teknologi pemanfaatan bambu untuk pembangunan rumah yang terjangkau masyarakat miskin perkotaan. 
Program dimulai dengan riset berbagai aspek pemanfaatan dan pengawetan bambu untuk pemukiman. Tentu saja melibatkan para ahli dan praktisi yang pro-pelestarian sumberdaya alam, khusunya bambu.  Salah satu program percontohan (pilot project) konstruksi rumah untuk rakyat di San Isidro Ilo-ilo City Philipine. Sebuah pemukiman berpenduduk kurang lebih 500 jiwa pindahan dari bantaran sungai Ilo-ilo. Relokasi pemukiman ini disediakan dan dibangunkan oleh pemerintah kota. Sebagai alternatifnya, 
HILTI Foundation bekerjasama dengan Federasi Rakyat Miskin Pilipina (Homeless People Federation of Philipine) memperkenalkan konstruksi rumah bambu kepada pemerintah kota. Dalam hal ini, peran pokok LSM sebagai berikut: 
(1) Menggali pengetahuan lokal bersama komunitas pemilik rumah. Menggali pengetahuan lokal (local wisdom), dan mendiskusikan praktik pemanfaatan bambu sehari-hari akan menentukan langkah berikutnya, yakni pengorganisasian komunitas untuk memulai kerja sama. Masyarakat memiliki pengalaman panjang dalam memanfaatkan bambu sebagai ekspresi dari cita rasa kebudayaannya. Ornamen, berbagai motif dan warna yang artistik menghiasi jendela, pintu, pagar, dan teras rumah mereka.
(2) Memberdayakan tukang dan pekerja bangunan lokal. Masyarakat memiliki banyak ahli bangunan yang berpengalaman membangun bahkan mendesain berbagai bentuk rumah. Tukang kayu, tukang kayu, dan mandor adalah contoh organisasi kerja dalam sebuah pembangunan. Teknik mengukur, menghitung, menggambar, memproyeksi dan mengawasi pekerjaan ditempa setiap hari dari pekerjaannya. Mereka adalah arsitek komunitas. Para arsitek sekolahan bisa saling bertukar pengetahuan dan menemukan formulasi kerja sama yang saling melengkapi. Terutama dalam pemanfaatan teknologi dan perkembangan informasi arsitek. 
(3) Membuat workshop teknologi pengelolaan material bambu. Arsitek sekolahan dan arsitek kampung saling transfer pengetahuan dan keahlian dalam ruang kerjasama. Mengisntalasi pengetahuan baru bukan pekerjaan instan, sebaliknya berintegrasi dengan komunitas bukan hal sepele. Relasinya bukan guru dengan murid. Interaksi yang sebenarnya adalah saling berbagi untuk menguatkan kelebihan sekaligus melengkapi kekurangan. Fokusnya adalah memproduksi pengetahuan alternatif yang mencerahkan masing-masing. Pengadaan peralatan kerja akan membantu para tukang mengembangkan keahliannya. Bahkan menjadi sumer lapangan kerja baru bagi para pekerja bangunan.
(4) Melakukan riset pengawetan bambu yang praktis dan ramah terhadap lingkungan. Agar konstruksi rumah bambu terjamin kualitasnya, diperlukan sistim pengawetan. Perkembangan ilmu pengetahuan menghasilkan sistim pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia. Cara sederhana juga dilakukan masyarakat tradisional secara non-kimia. Dibutuhkan inovasi sistim pengawetan bambu. Masyarakat memilki banyak bahan baku pengawet organis, yang jika diolah dengan pendekatan baru, menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Inovasi ini akan mengurangi ketergantungan masyarakat pada produk pabrikan, di samping mencegah dampak buruk penggunaan bahan kimia.  
(5) Mengembangkan desain rumah dan asistensi teknis pembangunannya. Cara pandang alternatif akan mencegah terjadinya penyeragaman desain seperti yang umumnya dilakukan pemerintah. Para desainer komunitas harus meyakini hal ini sebagai sikap dasar memulai kerjasama. Terkadang pekerja komunitas tergoda untuk bersikap praktis dan terima beres. Demikian halnya pemilik rumah. Dalam soal ini, organizer berperan penting dalam membangun kesepahaman pada tujuan dasar program. Dan pada saat yang sama pendampingan dan asistensi teknis akan memandu para pekerja dan komunitas untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan. Intensitas pendampingan terutama pada saat pembangunan rumah pertama (contoh). Standar sosial dan teknis yang optimal menjadi tolak ukur pembangunan selanjutnya.
(6) Mengadvokasi kebijakan dinas perumahan, pekerjaan umum dan dinas lingkungan hidup. Keberhasilan program percontohan rumah bambu ini pun tidak terlepas dari dukungan kebijakan dinas-dinas pemerintah yang terkait. Sebagai contoh peranan CODI dalam penataan pemukiman kumuh dan kredit perumahan bagi penduduk miskin di Bangkok. Peranan CODI sebagai fasilitator, mediator, dan kolaborator sangat efektif. Program menjadi massif ketika CODI mendapat kepercayaan pihak pemerintah nasional, lokal dan lembaga donor dalam memediasi konflik sekaligus menfasilitasi teknis pembangunan perumahan rakyat. Model CODI banyak direplikasi oleh LSM di Kamboja, Vietnam, juga Myanmar. Demikian halnya di HPFPI yang sukses meyakinkan pemerintah lokal, LSM internasional dan PBB dalam pengembangan perumahan murah, ramah lingkungan dengan konstruksi material bambu. 
Di Indonesia, penataan pemukiman berbasis komunitas sudah dimulai sejak lama seperti yang dikembangkan Romo Mangunwijaya di Kali Code. Sayangnya keberhasilan kerja para arsitek komunitas belum sepenuhnya diadopsi dalam kebihjakan perumahan nasional. Model penataan pemukiman yang diakui pemerintah nasional selama ini adalah KIP (Kampung Improvement Project) di Jakarta dan Surabaya pada tahun 70-an dan PNPM pada dekade tahun 2000-an. Dua proyek tersebut dinilai berhasil berkat sokongan pemerintah dan Bank Dunia. Sementara program inovatif yang dikembangkan UPC bekerja sama dnegan Arsitek Komunitas seperti di Strenkali Surabaya dan Banda Aceh pasca Tsunami masih membutuhkan kerja advokasi, di samping promosi dan inovasi.
Dari kunjungan singkat di lokasi percontohan konstruksi rumah bambu Ilo-ilo City, penulis mencatat beberapa poin pembelajaran yang relevan. Pertama. Pemanfaatan bambu untuk konstruksi perumahan rakyat dapat dipromosikan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang terjangkaui baik biaya maupun sumberdaya materialnya. Kedua. Teknologi pemanfaatan bambu sebagai bahan dasar konstruksi perumahan cukup visibel untuk diadaptasi sesuai dengan kemampuan teknis dan ekonomis masyarakat miskin. Ketiga. Aspek legalitas lahan pemukiman rakyat miskin merupakan faktor penghambat, dan karena itu keberhasilan advokasi (perundingan) sangat menentukan langkag selanjutnya. Keempat. Diperlukan program percontohan sebagai titik tolak melakukan advokasi.  

Makassar, 1 Juli 2014.